Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syariah dalam Wabah

Syariah dalam Wabah

Oleh Syakier Anwar

Pernah dengar “virus dibuat untuk membasmi orang islam”, “wabah corona sengaja diciptakan agar orang islam tidak bisa berjamaah di mesjid atau melaksanakan haji dan umrah”, “kita dijauhkan dari tempat ibadah” dan semacamnya? Sama, saya juga sering mendengar ujaran beginian di warkop, hajatan, medsos, WAG, bahkan di khutbah jumat. 

Sekilas, pernyataan macam ini ingin menegaskan bahwa islam dalam bahaya, bahwa wabah ini tiada lain hanya untuk orang islam atau, minimal, dapat menghambat orang beribadah, dan bahwa menaati langkah-langkah pencegahan berarti meninggalkan ajaran agama.

Entah bagaimana sodara-sodara kita ini berpikir hingga dapat kesimpulan bahwa wabah hanya datang untuk menghancurkan agama islam. Narsis dan paranoid. Saya bersimpati kepada virus ini, kok tega orang-orang ini mengerdilkan tugas yang diembankan Tuhan padanya untuk menjangkit umat manusia agama apa saja bahkan yang tidak beragama?! Oh, ya, masih segar di ingatan kita saat awal pandemi banyak dari orang-orang yang mendaku beriman, bahkan pemuka agama, mencoba untuk bagi-bagi azab. Iya, dengan mudahnya membagi-bagi azab dengan menyatakan bahwa virus ini adalah tentara Allah yang dikirim buat orang kafir tertentu karena telah menzalimi orang islam. 

Dugaan saya cukup kuat bahwa orang-orang tersebut pula yang hari ini masih dalam penyangkalan, tak mau mengikuti anjuran dokter, atau minimal, yaa, membual seperti di awal tulisan sambil menyalahkan pemerintah yang tak becus mengurus pandemi. Emang sih, yang terakhir ini lumayan akurat. Birokrasi beberapa negeri nampak kali, lah, bobroknya. 'Denial' (penolakan) dari awal sampai hari ini. Pening awak! Keadaan macam tak sehat bagi negara dan citra umat.

Nah, bicara mengenai citra umat, sikap 'denial' tersebut pada dasarnya bukan hanya ada di kalangan orang islam. Ia adalah gejala global, tak kenal agama, ras, suku, pilihan politik, apalagi pilihan bubur diaduk atau tidak. Setiap kelompok, di belahan bumi manapun, memiliki pihak yang gemar dengan konspirasi dan denial terhadap realita. Kemudian anggapan kelompok anti agama bahwa sikap 'denial' dan – ini yang pedih – anti-sains hanya terdapat pada kelompok-kelompok beragama, lebih-lebih yang religius, bagai mendapat sambutan. Ini bukan hal baru, sih. 

Mereka sudah melayangkan tuduhan ini lama sebelum pandemi, bukan Negara Api, menyerang. Makanya awak sedih dengan sikap sebagian sodara-sodara seiman yang 'denial' atau, paling tidak, mengabaikan arahan medis menyangkut pandemi ini hanya dengan alasan ingin bersyariat secara maksimal. Tak mau percaya, bebal, lelah, ya, silakan. Namun membuat alasan-alasan agamais untuk sikap tersebut secara tidak langsung memberi pembenaran terhadap tuduhan tadi; bahwa orang beragama anti sains, dalam hal ini ilmu kesehatan.

Untuk orang beriman, bersikap yang demikian cukup aneh. Soalnya begini, Tuhan menurunkan syariat dan akan menjaganya, Tuhan yang sama juga menurunkan ujian dalam rupa wabah. Seperti akal budi dan hal-hal lain, wabah dalam bentuk apa pun hanyalah makhluk dan tidak mungkin ciptaan-Nya bertentangan dengan titah-Nya.

{أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ}

"Ingatlah! Segala penciptaan dan Quran menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seru-sekalian alam. (Q.S al-A’raf, 54)."

Mematuhi  anjuran  ahli  selama  pandemi  bukanlah  tunduk  sepenuhnya  pada  sains  dan tak  lantas  langsung  berpaling  dari    agama.  Kita  bisa  mengikuti  langkah-langkah pencegahan sekaligus  mematuhi  perintah  dan  larangan  agama.  Tak  perlu,  lah,  salah  tingkah  dalam menyikapi  wabah  ini.  Wabah  bukanlah  hal  baru,  sudah  banyak  penjelasan  ahli  fikih  dan cendikia  menyangkut  wabah  di  masa  lampau.  Merujuk  kepada  dokter  tidak membuat  lantas kita  kurang  beriman,  apalagi  kurang  syariah.  

Dari  dulu  para  ulama merujuk  kepada  tabib  dalam hal-hal  yang  di  luar  kapasitasnya.  Mulai  masalah  bersuci  hingga  masalah-masalah  pelik  pada bab  Jinayah.  Bahkan,  dalam  kasus  tertentu  pada  masalah  tayamum,  bila  seseorang  nekat tayamum  kemudian  salat  tanpa  bertanya  kepada  dokter  sebelumnya,  salat  tersebut  harus diulang meskipun nanti  dokter  menyatakan kebolehan tayamum  itu.

Keterangan  barusan  dan  semisalnya  dapat  mudah  ditemui  di  buku-buku  fikih  tingkat menengah.  Para  ulama  dengan  mantap  merujuk  tabib  dalam  memutuskan  hukum  yang membutuhkan  ilmu  kesehatan.    Begitulah  fukaha  berfikih.  Mengikuti  instruksi  para  ahli  di bidang  tertentu  tanpa  rasa  percaya  diri  belebihan,  sadar  bahwa  fikih  adalah  ilmu  yang  kompleks yang membutuhkan penalaran utuh terhadap dalil  dan realita.

Aih,  panjang  sekali  sudah  ini,  padahal  cuma  mau  bilang  bahwa agama  kita  masih  baik-baik  saja,  bahwa  kita  masih  bisa  bersyariah total  dan  beribadah  maksimal  selama  pandemi. Bagi  kebanyakan  orang,  tidak  ada  yang  kurang.  Bahkan  mengikuti  protokol kesehatan  adalah bentuk bersyariah yang paripurna.

Salam.

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Syariah dalam Wabah"