Vaksin yang Muttafaq-alaih
Oleh Syakier Anwar
Tak percaya sama pemerintah karena kinerja yang ngga bagus-bagus amat itu, terus suka ngeles ngga jelas saat terbukti salah langkah, okelah. Tapi kalau tak percaya dokter dan ulama, apa pasal? Bisa jadi karena mutual distrust, tapi nanti, lah, kita diskusikan ini. Apa saja sebabnya, kurang mentereng apa coba dalil untuk bisa memahami bahwa tabib dan fukaha adalah pihak yang harus didengar anjurannya dan diikuti fatwanya. Satu penyembuh, satunya lagi guru. Mengikuti apa kata mereka tidak lain adalah bentuk pengamalan firman Tuhan, “Maka tanyalah ahli ilmu jika kalian tidak mengerti.”
Sudah tujuh belas bulan para dokter berdakwah menyebarkan kebenaran tentang wabah, merawat yang sakit, menghadang penyakit di garda terdepan, dan akhir-akhir ini gencar mengedukasi dan mengajak umat untuk segera vaksinasi. Semua otoritas kedokteran di berbagai negara menyatakan bahwa vaksinasi dapat memutus rantai penularan penyakit, mengurangi gejala kritis, dan mencegah kematian. Mereka adalah pahlawan yang seringnya kekurangan APD. Tapi umat masih saja percaya bahwa para tenaga kesehatan men-covid-kan banyak pasien, memasukkan chip dalam tubuh penerima vaksin, orang yang divaksin akan mati dalam dua tahun, atau bahkan percaya dokter Lois yang rupanya bermasalah kejiwaan itu ketimbang ahli-ahli lain yang sudah mencapai bilangan tawatur.
Dalam kesempatan yang lain, bukan hanya percaya, mereka – bahkan ada yang ahli agama – turut membagikan hoaks tentang vaksin hingga banyak kelompok rentan yang terimbas kebohongan yang tersebar. Gelombang anti-vaksin di negara mana pun memang bikin kewalahan, sudah tak mau vaksin, sebar hoaks pula.
Adapun para ulama, sejak awal tahun kemarin, fatwa-fatwa menyangkut kebolehan dan kehalalan vaksin mulai bermunculan dari lembaga-lembaga fatwa banyak negara. Fatwa-fatwa tersebut berkesimpulan sama; vaksinasi Covid-19 hukumnya wajib, bukan mubah, apalagi haram.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) di akhir Maret mengeluarkan fatwa tentang vaksin Covid-19. Fatwa MUI ini detail sekaligus problematis. Mungkin cuma fatwa MUI ini yang membahas kehalalan vaksin, secara khusus vaksin AstraZeneca yang diproduksi di Korea Selatan, dan menghukuminya haram karena dalam proses produksi menggunakan unsur dari babi. Meski begitu dalam fatwanya MUI berkesimpulan akhir bahwa umat islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi demi tercapainya kekebalan kelompok. Fatwa ini diikuti oleh PP Muhammadiyah dan MPU Aceh. Nahdlatul Ulama secara terpisah juga menerbitkan fatwa melalui LBM PWNU Jatim tentang hukum vaksinasi.
Kesimpulan para fukaha NU ini juga mewajibkan umat untuk menerima vaksin. Tiga bulan sebelumnya, Dar al-Ifta Mesir sudah duluan mengeluarkan fatwa bahwa menerima vaksin hukumnya wajib bagi siapa saja yang kesehatannya bergantung kepada vaksin dan obat demi terjaganya jiwa. Fatwa ini diikuti oleh Kerajaan Malaysia dan beberapa negara muslim lainya. Hasil hukum yang sama juga dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa Singapura, Australia, dan Britania Raya. Masalah vaksin ini menarik, belum ada fatwa yang kredibel selain wajibnya hukum vaksinasi. Jarang-jarang, lho, kita menjumpai para fukaha bersepakat dalam memfatwakan hukum masalah-masalah kontemporer. Dalam tahap tertentu, hukum vaksinasi Covid-19 ini adalah muttafaq alaih.
Anda mau mengabaikan fatwa-fatwa tersebut? Ya, jangan. Awam, kok, sok-sokan. Mukalid atau awam itu tugasnya ikut kata fukaha. Dari zaman sahabat dan generasi salaf saleh, bila ada kejadian yang belum diketahui hukumnya, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Yang mampu ijtihad, wajib ijtihad dan yang awam wajib bertanya, ikut fatwa ulama. Begitu syarahan al-Jassash saat beristidlal dengan ayat QS 21:7 di atas dalam al-Fushul fi al-Ushul-nya.
Bagaimana kalau tak ada yang memberi fatwa di daerahnya? Awam wajib keluar kawasan untuk mencari jawaban hukum. Terus bila fukaha berbeda pendapat dan ada sekian banyak pendapat tentang suatu masalah? Boleh lah mukalid memilih satu di antara pendapat-pendapat itu sesukanya atau ikut fakih yang paling terpercaya. Tapi kalau dalam suatu masalah cuma satu pendapat saja, mukalid tak punya pilihan selain ikut apa kata ulu al-amri mereka. Sila tengok penjelasan lebih lengkap dari Khatib al-Baghdadi yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam mukadimah magnum opus-nya, Majmu’.
Akhir-akhir ini saja banyak awam yang sudah tak lagi mau percaya sama para penerjemah Tuhan – pangkat yang disematkan al-Qarafi dalam Ihkam-nya buat ahli fatwa –. Ah, haibat sekali tamsilannya. Fatwa-fatwa Covid-19 di atas hanya contoh saja, biar cocok sama judul. Haha.... Sebelumnya, sudah banyak fatwa tentang kasus-kasus kekinian yang diabaikan awam, sebut saja fatwa denda dengan harta, judi daring, atau transaksi kripto.
Respon awam atas fatwa-fatwa itu lucu-lucu, ada yang berlagak jadi mufti, apa-apa maunya dikasih dalil. Dalilnya, pun, ngga tanggung-tanggung, kalau ngga Quran, ya, sunah. Ada juga yang mendaku ikut fukaha, tapi malah merasa lebih tau dari para fukaha menyangkut fatwa yang tidak sesuai dengan ambisinya. Ngga tau apa kalau bikin fatwa itu ngga main-main. Para fukaha sudah memahami dalil dan mendalami kasus sebelum berfatwa. Tapi, yaa, namanya saja sok tahu.
Akhir kalam, kembali ke muka. Dokter sudah bersabda bahwa vaksinasi adalah keharusan. Para ahli fatwa berpendapat vaksin wajib hukumnya. Anda ngga mau vaksin, ya, silakan, tapi kalau mau berpendapat sebaliknya, lha, Anda siapa?
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Vaksin yang Muttafaq-alaih"