Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agama Baru Rasa El Clasico

 

Agama Baru Rasa El Clasico

Kota Baghdad adalah salah satu kota, di mana dua mazhab aqidah besar dalam Islam hidup bersama. Terkadang mereka hidup damai, terkadang juga suasana panas ala pertandingan El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona. Biasanya suasana panas itu sering terjadi saat keadaan umat Islam melemah, baik dari segi keilmuan ataupun dari segi kekuatan negara. seperti di era Mongol, perang Salib atau keadaan sekarang sejak runtuhnya Ottoman. Dimana saat-saat seperti itu, umat dipenuhi dengan kejahilan, sehingga yang tersisa hanya kefanatikan. Kalau keadaannya sudah seperti itu, maka sangat mudah diadu domba, seperti yang terjadi saat ini.

Nah, sebagaimana para pengusaha memanfaatkan kefanatikan fans Barca dan Madrid dengan memanas-manasinya, tentu untuk kepentingan pribadi mereka. Maka ada juga orang-orang yang memanfaatkan kejahilan dan kefanatikan kelompok-kelompok dalam Islam untuk kepentingan mereka. Salah satu contohnya adalah kejadian yang dikisahkan oleh seorang ulama yang melintasi jembatan kota Baghdad. Di salah satu tepi jembatan, terdapat seorang pengemis berpakaian seperti seorang Syiah, lalu pengemis berteriak "demi kecintaan kalian pada Ali dan Ahlul Bait tolong saya." Di tepi satunya seorang pengemis memakai pakaian seperti orang Sunny, ia juga berteriak "demi kecintaan kalian pada Abu Bakar dan sahabat bantu saya."

Para pelintas yang bermazhab Syiah, ketika melihat orang Sunny memberi uang pada pengemis yang mengatasnamakan cinta pada Abu Bakar tentu gak mau kalah, mereka akan memberi lebih banyak pada pengemis yang berteriak demi kecintaan pada Ali. Begitu juga dengan pelintas Sunny, ketika melihat pelintas Syiah memberi uang pada pengemis yang berteriak cinta Ali, maka dia juga gak mau kalah dan memberi uang lebih banyak pada pengemis yang berteriak cinta Abu Bakar. Mereka menganggap bahwa mazhab yang satunya adalah saingan yang harus dikalahkan. Jadi dengan memberi pada pengemis yang satu mazhab dengan mereka, mereka menganggap bahwa mereka sudah membela mazhab dan aqidah mereka. Loe kira main bola menang kalah?!! Hahaha-Dan taukah apa yang terjadi ketika malam hari datang? Ulama tadi melintas lagi di jembatan itu, beliau melihat kedua pengemis menggabungkan penghasilan mereka, lalu membagi dua sama rata, satu kota baghdad gak sadar kena prank. Betapa mudahnya kefanatikan itu dimanfaatkan dengan diadu domba, bahkan pada hal konyol sekalipun. Kita mungkin menertawakan kisah ini, tapi faktanya kita sering kali mempraktekan kekonyolan ini.

Lihatlah hari ini, bagaimana riuhnya masalah kefanatikan mazhab baik di dunia nyata atau dunia maya. Seolah, perbedaan mazhab atau pendapat menjadi alat untuk bersaing, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dan hal semacam ini lebih terasa di dunia maya. Lihatlah ketika ada ustazd sebelah salah ngomong, semua nyinyiran dan lelucon tentang itu bisa riuh sebulan full, belum lagi serangan meme yang massif. Begitu juga sebaliknya, ketika giliran ustazd yang kita ikuti kepeleset, kita sibuk konfirmasi dari serangan lawan. Media? jangan tanya, itu terus yang digoreng, seolah ada pertandingan El Clasico di minggu itu.

Dan yang menyerang? Mereka gak peduli sama sekali dengan fakta, yang penting bisa nyerang dan menertawakan. Persis seperti Dedemit dan Decul di El Clasico. Dedemit ga peduli mereka nol gelar yang penting puas menyerang Decul dengan kekalahan 8-2. Decul gak peduli betapa hancurnya Barca tahun itu yang penting bisa negeledekin Dedemit 0 gelar. Fans Messi dan CR7? Mereka gak butuh kebenaran, yang penting bisa ngeledek aja, alasan bisa dicari. Dulu Messi diledekin karena gak dapat piala saat bermain di timnas, tapi saat dapat masih dikatakan "ah itu piala kaleng." Ronaldo? Sama juga, walau uda dapat Ballon d'or 5 kali, masih diledekin juga lebih sedikit satu atau karena penalti. Aku yakin bahkan jika dia dapat lagi, Messi-er bakal punya alasan lain untuk ngeledekin. karena yang penting bukan kebenaran tapi ada celah untuk ngeledek, tak peduli bahwa mereka sendiri lagi bokek. Dan kefanatikan ini kumudian dimanfaatkan oleh media, youtuber, pabrik baju, dll.

Nah, jika sudut pandang El Clasico ini dipraktekan dalam beragama maka efeknya lebih bahaya, seolah memilih aqidah tertentu itu kayak big match. Dan sayangnya, kita sendiri mempraktekannya, kalau mau jujur pada diri sendiri sih. Lebih gila lagi, bahkan saat kita memperingatkan orang lain tentang masalah ini dengan mengatakan "kalian dimanfaatkan oleh orang lain dan ditipu dengan baju agama." Kita jatuh ke lubang yang sama, karena kita ngingatinnya dengan cara meledek dan kita akhirnya jadi saling balas dengan orang yang awalnya ingin kita peringatkan, kita menjadi bagian dari konflik. Tanpa sadar, kita juga bagian dari orang-orang yang dimanfaatkan untuk diadu domba, karena kita malah ikut dalam pusaran konflik.

Ini konyol, tapi begitulah cara kita beragama hari ini, walaupun itu sama sekali tak mengherankan. Karena memang keadaan umat Islam saat ini sedang sangat lemah, kejahilan di mana-mana, secara politik lemah, keilmuan apalagi, bahkan ilmu tentang agama sendiri. Dan kita nyaris gak ada strategi apa-apa, bahkan kebanyakan kita gak ada prinsip, begitu mudah ikut arus dan dimanfaatkan, beneran buih, bahkan yang mengatakan orang lain buih pun, tidak sadar kalau dirinya bagian dari buih itu.

Ini konyol, yang jadi buih bukan cuma yang dimanfaatkan atas nama agama, bahkan orang yang tau bahwa mereka dimanfaatkan pun juga jadi buih. Karena ketika mengingatkan malah dengan cara  yang membuat keadaan makin panas. Sedangkan yang memanfaatkan? Ini malah respon yang mereka inginkan. Dan cara respon itu juga mereka manfaatkan, jadi sekarang ada buih kuadrat. Yang satu gak sadar sedang dimanfaatkan dan  yang satunya lagi mengira dirinya sadar, padahal gak sadar juga jadi alat untuk memanfaatkan orang lain, jadi sebenarnya  sama-sama alat. Begitulah jika beragama dengan cara suporter El Clasico, yang penting bisa ngeledekin orang.

Tapi namanya aja era kemunduran, ya begitu, beragama dengan modal fanatik. Beda dengan era di saat kehidupan ilmiyah maju, perbedaan mazhab dikelola dengan baik dan ilmiyah, bukan berarti ga ada konflik sama sekali. Yang namanya adik kakak sesekali konflik itu normal, tapi begitu konflik itu muncul, maka bisa langsung diselesaikan secara ilmiyah, jadi ga berkelanjutan, pengelolaan konflik yang bagus. Maka dari itu tak heran, di masa itu mereka tak perlu gengsi mengambil ilmu dari mazhab sebelah jika memang sesuai dengan standar ilmiyah dan bermanfaat, karena yang dicari kebenaran, bukan mempertahankan gengsi.

Dalam mazhab Ahlussunnah misalnya, buku mazhab mu'tazilah seperti Umdah, Tafsir Kasyaf, dll dipelajari, bahkan masuk kurikulum. Buku mazhab Hukama' (filsuf muslim) seperti Syifanya Ibnu Sina, Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd dipakai. Buku atau pendapat Hasyawiyah seperti Ibnu Taimiyah, Harawy, dll juga digunakan. Dari Zidiyah seperti San'any juga dipakai. Begitu juga sebaliknya, Mazhab Imamiyah memakai Bidayah Hikmah Abhury atau Alfiyah Ibnu Malik misalnya. Hasyawiyah belajar Riyadhusshalin dan Fathul Bary misalnya. Zaidiyah memakai Sahih Bukhary. Dan yang seperti itu banyak lagi di era ilmiyah.

Ketakutan dan rasa parno memakai kitab dari yang beda mazhab, ya cuma muncul di era kejahilan dan kemunduran seperti sekarang. Salah satu sebabnya, ya gengsi. Gimana gak gengsi? Kita beragama ala El clalsico, di mana kita menganggap mazhab sebelah sebagai rival, selama ini kita saling ledek, masa tiba-tiba mau merujuk ke kitab mereka, gengsi donk. Memang seperti itulah keadaan saat era kegelapan, di mana beragama seperti suporter bola dan kebodohan ini sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak yang punya kepentingan, baik dari dalam Islam ataupun luar Islam. Padahal mabda kita satu, baik anda Wahabi, Haraky, Sunny, Syiah, Zaidy atau Ibadhy. Anda semua masih mengucapkan "lailaha illallah muhammad rasulullah," gak bisakah kalimat tahyyibah itu menjadi tali yang mengikat persaudaraan kita? Kita semua umat Muhammad loh?

Ditulis oleh Fauzan Inzaghi

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Agama Baru Rasa El Clasico"