Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendangkalan Syariah

Pendangkalan Syariah

Islam datang dengan membawa akidah dan syariat yang menganulir segala akidah dan syariat sebelumnya. Akidah yang dibawa Baginda Nabi sudah sempurna dan syariahnya paripurna, karenanya agama ini akan kekal hingga kiamat tiba. Tapi itu tidak berarti bahwa akidah islam tidak didistorsi atau diusik orang. Ada saja usaha, dari luar atau dalam, untuk membelokkan dan mengikis akidah umat islam dari masa salaf hingga zaman kiwari. Beruntungnya, kita memiliki para ulama yang sepanjang zaman dalam senyap menjaga akidah dari itu semua hingga kita dapat merasakan kejernihan akidah yang dibawa Baginda Nabi dengan susah payah.

Begitu juga syariat. Dari dulu, banyak sudah yang mencoba menggoyang kekokohan pondasinya atau bermain-main dengan percabangannya. Ada yang menolak kias, menafikan ijmak, bahkan ada yang menolak kehujahan sunah Baginda Nabi. Dan, lagi-lagi, kita mesti berterima kasih kepada para fukaha yang sudah berpeluh darah memelihara syariat yang suci dari berbagai pendangkalan dan penyelewengan itu. Demi menjaga dan melestarikan syariat, para fukaha salaf mengkodifikasi hukum-hukum dalam bentuk riwayat, generasi setelahnya mensyarahi dan mengistinbat cabang-cabangnya. Kemudian hukum-hukum syariat diberikan argumennya. 

Para fukaha dari banyak mazhab kemudian menjabarkan dalil-dalil, menyelaraskan yang lahirnya kontradiktif, menjelaskan ilat-ilat, menyimpulkan kaidah-kaidah, dan juga mengurai maslahah sebagai tujuan hukum syariat. Akhirnya, syariat sampai kepada kita dengan berbagai mazhabnya yang muktabar hingga kita dapat mengamalkannya dengan leluasa. Untuk mencapai tujuan itu, dikenalkan lah ilmu usul fikih. Ilmu untuk merumuskan sekaligus memugar hukum syariat. Fikih yang awalnya hanya berupa riwayat-riwayat, di tangan para fukaha lintas mazhab menjadi sebuah ilmu yang matang, argumentatif, ter-zabit, dan dalam.

Upaya pendangkalan islam tentunya belum berhenti. Dari dalam, sudah tiga kurun lebih umat islam harus mengurus kelompok yang mendaku-diri sebagai gerakan pembaharu sekaligus pemurnian agama, tapi lebih banyak pengrusakan ketimbang pembaharuan. Ya, siapa lagi kalau bukan para pengikut Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebuah kelompok minoritas yang ngga penting-penting amat dalam sejarah keilmuan islam yang telah berakar dan kaya. Tentu handai tolan sekalian sudah cukup tahu tentang sejarah, sepak terjang, dan doktrin wahhabisme – istilah yang dipakai Hamid Algar untuk menyebut gerakan pengikut Syeikh barusan – secara umum. Dalam urusan akidah, citra wahhabisme sudah cukup negatif. Bagaimana tidak, berbagai distorsi konsep tauhid seperti – ini paling parah, sih – mengkafirkan yang beriman dan mengakui keimanan orang kafir terus didengungkan kelompok ini. Belum lagi sikap mereka yang kerap menganggap masalah khilafiah dalam cabang syariat sebagai khilaf dalam dasar-dasar iktikad. Tunggu saja, lah, para punggawa Serambi mengelaborasi perkara ini lebih luas.

Syariat yang sudah bercabang dan mantap prinsip-prinsipnya juga tak luput dari tingkah usil kelompok ini. Memang, sih, gerakan ini bukan satu-satunya yang punya birahi untuk menerjemahkan ulang maksud-maksud Tuhan, tapi mereka lah yang paling tekun dan agresif dalam melabeli 'salah' pada berbagai praktek umat islam dengan alasan pemurnian. Selain itu, mereka juga menjauh dari ­zabit dan kaidah yang sudah ditetapkan oleh para fukaha sejak generasi salaf. Meski begitu, tetap, dong, pede mendakwa diri pengikut salaf.

Jamak diketahui bagaimana kelompok ini mengobok-obok konsep bid’ah yang sudah mapan hingga menimbulkan kekacauan di  tengah umat. Kelompok ini menafikan pembagian bid’ah kepada wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram, pembagian yang telah diamini oleh mayoritas ulama berbagai mazhab. Dalam pada itu, wahhabisme mengkampanyekan konsep dan pembagian yang berbeda. Ajaran wahhabisme sungguh sangat bid’ah. Begini, kelompok ini bukan saja memaknai bidah secara serampangan dan berbeda dengan pemaknaan jumhur ulama, tapi juga berani menyalahkan generasi terdahulu. Di samping perkara bid’ah, ciri khas ajaran wahhabisme adalah penolakan terhadap mazhab yang muktabar. Ajakan yang secara massif dilakukan untuk meninggalkan taklid dan berijtihad sendiri.

Yang paling meresahkan dari itu semua, dakwah mereka sudah masuk ke dalam ruang pendidikan syariat. Ilmu yang paling dekat dengan syariat, usul fikih, akhirnya disentuh juga oleh tangan jail kelompok ini. Lihat saja buku Ushu al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahl al-Sunnah karya Walid al-Sa’idan yang baru-baru ini terbit atau Ushu al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahl al-Hadits karya Zakaria al-Bakistani yang sudah bisa diakses secara digital, Anda akan tertawa atau terkejut saat menjumpai kaidah-kaidah baru yang tidak dikenal oleh generasi terdahulu. Bid’ah banget deh pokoknya. Haha..

Sekali lagi, gerakan ini bukanlah satu-satunya, bukan pula pioner dalam hal pendangkalan syariat dan ilmunya. Di luar sana kita mendapati fenomena pemikiran kontemporer dengan tingkah dan semangat yang sama dengan wahhabisme. Pemikiran kontemporer, secara khusus dalam lingkup ilmu syariat, menampakkan dirinya dalam tulisan dan seminar yang penuh dengan propaganda pembaharuan fikih, rekonstruksi fatwa, atau dakwah-dakwah semacamnya. Tentunya dengan alasan menjadikan fikih dan fatwa senafas dengan perubahan zaman. Kita sudah pernah terheran-heran mendengar kebolehan wanita muallaf mempertahankan rumah tangga dengan suami yang masih non-muslim dan fatwa-fatwa lain yang melenceng jauh dari tatanan kaidah dan hukum yang sudah berlaku dari masa ke masa.

Aih, sudah panjang. Segini dulu, Handai tolan. Penting dipahami bahwa semua bentuk-bentuk pendangkalan di atas pada hakikatnya adalah kesalahan pada metode penalaran hukum dan kaidah-kaidah yang diabaikan oleh wahhabisme secara khusus dan gerakan-gerakan pembaharuan lainnya. Rusak tapai karena ragi, alih-alih memurnikan, akidah dan syariat umat malah tercemar karena gerakan-gerakan karbitan ini. Salam.

Ditulis oleh Syakier Anwar
Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Pendangkalan Syariah"