Pendangkalan Syariah
Islam datang dengan membawa akidah dan syariat
yang menganulir segala akidah dan syariat sebelumnya. Akidah yang dibawa Baginda
Nabi sudah sempurna dan syariahnya paripurna, karenanya agama ini akan kekal
hingga kiamat tiba. Tapi itu tidak berarti bahwa akidah islam tidak didistorsi
atau diusik orang. Ada saja usaha, dari luar atau dalam, untuk membelokkan dan
mengikis akidah umat islam dari masa salaf hingga zaman kiwari. Beruntungnya,
kita memiliki para ulama yang sepanjang zaman dalam senyap menjaga akidah dari
itu semua hingga kita dapat merasakan kejernihan akidah yang dibawa Baginda
Nabi dengan susah payah.
Begitu juga syariat. Dari dulu, banyak sudah yang mencoba menggoyang kekokohan pondasinya atau bermain-main dengan percabangannya. Ada yang menolak kias, menafikan ijmak, bahkan ada yang menolak kehujahan sunah Baginda Nabi. Dan, lagi-lagi, kita mesti berterima kasih kepada para fukaha yang sudah berpeluh darah memelihara syariat yang suci dari berbagai pendangkalan dan penyelewengan itu. Demi menjaga dan melestarikan syariat, para fukaha salaf mengkodifikasi hukum-hukum dalam bentuk riwayat, generasi setelahnya mensyarahi dan mengistinbat cabang-cabangnya. Kemudian hukum-hukum syariat diberikan argumennya.
Para fukaha dari banyak mazhab
kemudian menjabarkan dalil-dalil, menyelaraskan yang lahirnya kontradiktif,
menjelaskan ilat-ilat, menyimpulkan kaidah-kaidah, dan juga mengurai maslahah
sebagai tujuan hukum syariat. Akhirnya, syariat sampai kepada kita dengan
berbagai mazhabnya yang muktabar hingga kita dapat mengamalkannya dengan
leluasa. Untuk mencapai tujuan itu, dikenalkan lah ilmu usul fikih. Ilmu untuk
merumuskan sekaligus memugar hukum syariat. Fikih yang awalnya hanya berupa
riwayat-riwayat, di tangan para fukaha lintas mazhab menjadi sebuah ilmu yang
matang, argumentatif, ter-zabit, dan dalam.
Upaya pendangkalan islam tentunya belum
berhenti. Dari dalam, sudah tiga kurun lebih umat islam harus mengurus kelompok
yang mendaku-diri sebagai gerakan pembaharu sekaligus pemurnian agama, tapi
lebih banyak pengrusakan ketimbang pembaharuan. Ya, siapa lagi kalau bukan para
pengikut Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebuah kelompok minoritas yang ngga
penting-penting amat dalam sejarah keilmuan islam yang telah berakar dan kaya.
Tentu handai tolan sekalian sudah cukup tahu tentang sejarah, sepak terjang,
dan doktrin wahhabisme – istilah yang dipakai Hamid Algar untuk menyebut
gerakan pengikut Syeikh barusan – secara umum. Dalam urusan akidah, citra
wahhabisme sudah cukup negatif. Bagaimana tidak, berbagai distorsi konsep
tauhid seperti – ini paling parah, sih – mengkafirkan yang beriman dan mengakui
keimanan orang kafir terus didengungkan kelompok ini. Belum lagi sikap mereka
yang kerap menganggap masalah khilafiah dalam cabang syariat sebagai khilaf
dalam dasar-dasar iktikad. Tunggu saja, lah, para punggawa Serambi
mengelaborasi perkara ini lebih luas.
Syariat yang sudah bercabang dan mantap
prinsip-prinsipnya juga tak luput dari tingkah usil kelompok ini. Memang, sih,
gerakan ini bukan satu-satunya yang punya birahi untuk menerjemahkan ulang
maksud-maksud Tuhan, tapi mereka lah yang paling tekun dan agresif dalam
melabeli 'salah' pada berbagai praktek umat islam dengan alasan pemurnian.
Selain itu, mereka juga menjauh dari zabit dan kaidah yang sudah ditetapkan
oleh para fukaha sejak generasi salaf. Meski begitu, tetap, dong, pede mendakwa
diri pengikut salaf.
Jamak diketahui bagaimana kelompok ini
mengobok-obok konsep bid’ah yang sudah mapan hingga menimbulkan kekacauan
di tengah umat. Kelompok ini menafikan
pembagian bid’ah kepada wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram, pembagian yang
telah diamini oleh mayoritas ulama berbagai mazhab. Dalam pada itu, wahhabisme
mengkampanyekan konsep dan pembagian yang berbeda. Ajaran wahhabisme sungguh
sangat bid’ah. Begini, kelompok ini bukan saja memaknai bidah secara
serampangan dan berbeda dengan pemaknaan jumhur ulama, tapi juga berani
menyalahkan generasi terdahulu. Di samping perkara bid’ah, ciri khas ajaran
wahhabisme adalah penolakan terhadap mazhab yang muktabar. Ajakan yang secara
massif dilakukan untuk meninggalkan taklid dan berijtihad sendiri.
Yang paling meresahkan dari itu semua, dakwah
mereka sudah masuk ke dalam ruang pendidikan syariat. Ilmu yang paling dekat
dengan syariat, usul fikih, akhirnya disentuh juga oleh tangan jail kelompok
ini. Lihat saja buku Ushu al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahl al-Sunnah karya Walid al-Sa’idan
yang baru-baru ini terbit atau Ushu al-Fiqh ‘ala Manhaj Ahl al-Hadits karya
Zakaria al-Bakistani yang sudah bisa diakses secara digital, Anda akan tertawa
atau terkejut saat menjumpai kaidah-kaidah baru yang tidak dikenal oleh
generasi terdahulu. Bid’ah banget deh pokoknya. Haha..
Sekali lagi, gerakan ini bukanlah
satu-satunya, bukan pula pioner dalam hal pendangkalan syariat dan ilmunya. Di
luar sana kita mendapati fenomena pemikiran kontemporer dengan tingkah dan
semangat yang sama dengan wahhabisme. Pemikiran kontemporer, secara khusus
dalam lingkup ilmu syariat, menampakkan dirinya dalam tulisan dan seminar yang
penuh dengan propaganda pembaharuan fikih, rekonstruksi fatwa, atau
dakwah-dakwah semacamnya. Tentunya dengan alasan menjadikan fikih dan fatwa
senafas dengan perubahan zaman. Kita sudah pernah terheran-heran mendengar
kebolehan wanita muallaf mempertahankan rumah tangga dengan suami yang masih
non-muslim dan fatwa-fatwa lain yang melenceng jauh dari tatanan kaidah dan
hukum yang sudah berlaku dari masa ke masa.
Aih, sudah panjang. Segini dulu, Handai tolan. Penting dipahami bahwa semua bentuk-bentuk pendangkalan di atas pada hakikatnya adalah kesalahan pada metode penalaran hukum dan kaidah-kaidah yang diabaikan oleh wahhabisme secara khusus dan gerakan-gerakan pembaharuan lainnya. Rusak tapai karena ragi, alih-alih memurnikan, akidah dan syariat umat malah tercemar karena gerakan-gerakan karbitan ini. Salam.
Ditulis oleh Syakier Anwar
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Pendangkalan Syariah"