Hiruk Pikuk Sesajen
Belum sampai seminggu saya tidak mantengin media sosial. Beruntung saya belum mengidap penyakit populer FOMO, takut ketinggalan info, yang sudah jadi endemik makhluk modern. Namun, tidak membuka media sosial dan mematikan notifikasi aplikasi-aplikasi itu tidak menjamin Anda akan lolos dari terjangan informasi yang begitu deras. Ya, betapa pun saya lari, laiknya rezeki dan mati, informasi tetap saja masuk ke jalur pribadi. Awalnya WAG yang dibuatkan untuk diskusi serius perihal keagamaan hanya berisi daftar kehadiran anggota grup pada sebuah acara. Tapi perkumpulan daring itu mendadak riuh rendah begitu tulisan KH. Ustadz Ma'ruf Khozin, pakar dalil-dalil amaliah ASWAJA yang rasikh ilmu, dikirimkan oleh salah satu anggota. Saya pun terpapar keriuhan itu, ikut menyekasamai, dan berakhir di TKP.
Dalam tulisan itu, beliau tentunya menukilkan beberapa redaksi kitab para fukaha yang menjabarkan persoalan sembelihan dan secara khusus menyembelih demi dijauhkan dari gangguan jin. Beliau juga menukil pendapat yang membenarkan memberi roti untuk hewan laut sebagai sandaran praktek pelaku sesajen yang biasanya membiarkan makanan – yang di dalamnya adalah sembelihan – dimakan hewan, bukannya disekahkan untuk dimakan oleh manusia. Tujuan beliau dalam tulisan itu jelas, bahwa dalam menghadapi adat dan tradisi dalam masyarakat yang lahirnya tidak sejalan dengan syariat, agar jangan langsung divonis mengandung syirik atau kafir. Baiknya diajarkan dulu dan diarahkan agar tradisi yang sudah berlangsung lama dikerjakan sesuai dengan syariat. Hal ini juga beliau tegaskan dalam postingan yang baru saja terbit sesaat sebelum tulisan ini dikerjakan.
Dalam postingan yang terakhir itu, Kyai Ma’ruf mengakui bahwa bukan hanya Salafi saja yang menyerang tulisan beliau, namun ada juga dari sesama kalangan santri pesantren yang memegang teguh ajaran agama. Saya pun mencari tulisan yang beliau maksud. Banyak tulisan bermunculan tentang sesajen sejak kemarin, namun tulisan yang rupanya ditulis Kyai Abdul Wahab tersebut tak sukar ditemukan. Tulisan tandingan ini berkesimpulan bahwa ibarah atau redaksi yang dijadikan sandaran dalam tulisan pertama disebut adalah tidak tepat. Baik soal-soal sembelihan atau makanan yang dibiarkan untuk disantap hewan. Kedua Kyai muda tersebut setidaknya sepakat bahwa praktik sesajen tidak sampai membuat pelakunya menjadi kafir. Dan saya makin tenggelam dalam riuh sesajen yang mengundang banyak kaum sarungan angkat bicara.
Dalam membaca banyak tulisan dan redaksi dari kitab-kitab turats, saya mencatat beberapa hal. Pertama, ada perbedaan besar antara sesajen dengan sembelihan untuk menolak kejahatan jin yang dibahas oleh para ulama. Sesajen, secara bahasa saja sudah mengandung makna semah, yakni sajian yang diberikan kepada makhluk astral. Sedangkan dalam prakteknya yang cukup berbeda-beda di setiap daerah, tidak semua sesajen bisa dihukumi mubah. Ada sesajen yang komposisinya tetap dan tak bisa diubah, harus ikut adat, ada yang isiannya selain makanan juga ada bunga dan dupa, dan ada juga tidak ada apa-apa selain kepala kerbau yang langsung dicemplungin ke sungai. Makanya ada sementara pihak yang cenderung memisahkan perkara sesajen ini dengan sembelihan, meski dalam banyak kasus sembelihan adalah salah satu komposisinya, dan dari segi pembagian hukum kedua bisa lebih kurang serupa. Dalam pandangan terakhir ini, hukum sesajen tidak terikat dengan dengan sembelihan. Ia bisa menjadi haram dan pelakunya menjadi kafir bila melakukan demi mengagungkan dan menyembah selain Allah dan bisa jadi haram saja tanpa menjadikan pelakunya kafir bila dilakukan tanpa tujuan tersebut.
Kedua tentang binatang sembelihan, hukumnya dan kekufuran pelakunya ada beberapa rincian. Menyembelih binatang untuk beribadah kepada Allah semata maka hukumnya sunnah dan pelakunya mendapat ganjaran pahala, seperti berkurban di hari raya.
Menyembelih demi Allah dan hasil sembelihan dimakan atau disedekahkan namun dengan tujuan dijauhkan dari marabahaya, termasuk dari jin, maka tentu hukumnya boleh, bahkan sunnah juga seperti disebut dalam Busyra al-Karim pada Bab Kurban. Ini tidak beda dengan tradisi syukuran. Namun perlu dicatat, bahwa menyembelih binatang dengan tujuan di atas kemudian tidak dimakan tapi dibiarkan begitu saja seperti dalam sebagian praktek sesajen bisa jadi berdosa, meski tindakan sembelih tersebut tidak sampai haram atau menjadikan pelaku kufur. Silakan rujuk tentang ini dalam Tuhfat al-Muhtaj pada Kitab Perburuan.
Adapun menyembelih binatang demi selain Allah atau demi Allah dan selain-Nya, maka hukumnya haram dan daging hasil sembelihan tidak bisa dikonsumsi karena ia dianggap bangkai. Keharaman menyembelih tersebut tidak lantas membuat pelakunya menjadi kufur selama tidak dimaksudkan untuk memuliakan atau menyembah selain Allah. Jadi, bila menyembelih dengan tujuan mengagungkan selain Allah – apakah itu jin, manusia hidup atau sudah mati, atau benda mati lainnya– maka hukumnya haram, dagingnya bangkai, dan pelakunya kufur. Masih ada beberapa catatan lain dari riuh rendah sesajen ini, tapi cukup di sini dulu. Handai tolan tentunya punya kerjaan lain selain menghabiskan waktu di media sosial. Salam-salaman.
Ditulis oleh Syakier Anwar
Posting Komentar untuk "Hiruk Pikuk Sesajen"