Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Damai dan Konflik Menurut Para Ahli

Damai atau Budaya Damai Menurut Para Ahli

Johan Galtung

Johan Galtung memberikan penjelasan bahwa damai adalah tidak adanya kekerasan baik kekerasan secara langsung maupun kekerasan tidak langsung (terstruktur). Melalui penjelasan tersebut Galtung kemudian membuat pembedaan mengenai damai, yaitu damai negatif (negative peace) dan damai positif (positive peace). Damai negatif dimaknai sebagai ketiadaan kekerasan secara langsung (perang, penyiksaan, kekerasan terhadap anak dan wanita [yakni gender]), sedangkan damai positif dimaknai sebagai ketiadaan kekerasan struktural yaitu terciptanya keadilan sosial, hubungan sosial, ekonomi, lingkungan hidup, dan politik yang harmonis.

Ursula Franklin

Ursula Franklin berpendapat bahwa damai bukan hanya sekedar tidak adanya perang, tetapi juga terciptanya keadilan dan hilangnya ketakutan dalam diri individu dan masyarakat dari apa yang disebut “sistem yang mengancam”, yaitu sistem yang diciptakan oleh suatu kelompok untuk mengontrol dan mengatur individu atau kelompok lain dengan memberi mereka rasa takut dan ketidakpastian demi mencapai tujuan tertentu.

PBB

Budaya damai menurut PBB adalah seperangkat nilai, sikap, tradisi, perilaku, dan cara hidup yang: 
  1. Menghargai hak kehidupan dan hak azasi manusia 
  2. Menolak kekerasan dalam segala bentuknya dan mencegah konflik kekerasan dengan mencari akar permasalahan melalui dialog dan negosiasi 
  3. Komitmen kepada partisipasi penuh dalam proses pertemuan yang adil untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan masa depan. 
  4. Mempromosikan persamaan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan 
  5. Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi, opini, dan informasi 
  6. Mengutamakan kepada prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kerja sama, pluralisme, dialog, dan saling memahami antarbangsa, antaretnis, agama, kultur, antarkelompok, dan antar individu.

Konflik Menurut Para Ahli

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi

Konflik atau pertentangan menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi akibat adanya ketegangan antara satu pihak dengan pihak lain. 

Pruitt dan Rubin

Menurut Pruitt dan Rubin, konflik dapat diartikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. 

Amy Ohlendorf

Menurut Amy Ohlendorf dalam buku Peace Education, Volume II, konflik yaitu suatu situasi persaingan yang di dalamnya orang-orang sadar akan adanya ketidaksesuaian posisi potensial di masa depan dan masing-masing orang berniat untuk menguasai posisi yang dirasa tidak sesuai untuk yang lainnya.

Faktor Mempertajam dan Meredakan Konflik

Faktor-faktor yang dapat mempertajam terjadinya konflik adalah adanya perbedaan ideologi yang mendasar karena tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain, adanya perbedaan kelas, makin meningkatnya mobilitas status yang cenderung memaksakan kontak antarindividu dan kelompok, dan makin intensifnya perjuangan politik yang cenderung mengaburkan keadaan agama dengan kepentingan politik. 

Adapun faktor-faktor yang meredakannya adalah adanya perasaan memiliki satu kebudayaan dan adanya toleransi umum yang didasarkan atas suatu relativisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai tertentu sesuai dengan konteksnya.

4 Akar Penyebab Konflik

Dalam suatu konflik terdapat beberapa unsur yang menjadi akar penyebabnya, yaitu: 

  1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Jadi, ada interaksi antaramereka yang terlibat. 
  2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan inilah yang menjadi sumber konflik.
  3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, dan tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau men capai tujuan. 
  4. Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan. Meliputi situasi antarpribadi, antarkelompok, dan antar organisasi.

Tipe Situasi Konflik

Konflik dapat terjadi dalam beberapa tipe situasi. Pertama, situasi tanpa konflik menggambarkan situasi yang stabil, hubungan antarkelompok bisa saling memenuhi dan damai. Situasi ini bisa terjadi karena masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang dapat mencegah terjadinya konflik, tetapi juga bisa terjadi karena sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan. 

Kedua, situasi konflik laten di mana keadaan yang di dalamnya mengandung persoalan-persoalan yang tersembunyi, di mana sewaktu-waktu dapat meledak apabila ada pemicunya. 

Ketiga, konflik terbuka, di mana situasi konflik sosial telah muncul ke permukaan dengan akar masalah yang besar dan nyata sehingga perlu penanganan menyeluruh untuk mengatasi akar dan efek- nya. Keempat, konflik permukaan, konflik yang terjadi di permukaan tetapi tidak memiliki akar atau akar yang sangat dangkal yang umumnya berupa kesalahpahaman sehingga perlu dialog/komunikasi antarpihak untuk menyelesaikannya.

Referensi: 
Atmanto, Nugroho Eko & Haryanto, Joko Tri. (2020). Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama. Yogyakarta: Diva Press

Posting Komentar untuk "Damai dan Konflik Menurut Para Ahli"