Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Damai dan Konflik

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Kehidupan manusia teegantung pada manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia berhubungan satu sama lain atau berinteraksi sosial. Proses interaksi sosial ini meniscayakan kemungkinan terjadinya relasi yang baik dan relasi yang tidak baik. Relasi yang baik menjadikan kondisi damai, sedangkan relasi yang tidak baik menyebabkan situasi konflik.

Soekanto, membedakan dua model relasi atau interaksi sosial, yaitu interaksi asosiatif dan interaksi disosiatif. Interaksi asosiatif adalah hubungan sosial dalam masyarakat yang terwujud dari kehendak rasional antarelemen masyarakat, dalam pengertian segala hal yang disepakati bersama dan tidak bertentangan dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. 

Proses ini mengarah pada semakin kuatnya ikatan antarpihak yang berhubungan. Proses ini meliputi bentuk kerja sama dan akomodasi. Di sisi lain, interaksi disosiatif merupakan bentuk hubungan sosial yang mengarah pada perpecahan atau merenggangnya hubungan sosial antarpihak yang saling berhubungan. Proses ini dapat berbentuk persaingan, kontravensi, maupun pertentangan. 

Memahami Damai

Interaksi asosiatif paling mudah mendorong terciptanya perdamaian, dan interaksi disosiatif gampang menyulut terjadinya konflik. Namun dalam suatu proses sosial, damai dan konflik ini membutuhkan penjelasan yang lebih kompleks. Interaksi yang asosiatif memang dekat dengan kondisi perdamaian, tetapi belum tentu kondisi damai yang ideal. Demikian pula interaksi disosiatif; tidak mesti melahirkan konflik yang berdarah, pertempuran fisik, ataupun peperangan. Konflik tidak mesti melahirkan kekerasan.

Memahami Konflik

Konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepen- tingan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat karena masing-masing pihak tentu memiliki kepentingan (interest) yang bisa jadi saling bertentangan. Dalam menyelesaikan pertentangan atau konflik ini, ada yang mengambil jalan damai, seperti dengan dialog, akomodasi, bahkan kerja sama tetapi ada pula yang mengambil jalan kekerasan. Dengan demikian, kekerasan sudah pasti konflik, tetapi konflik belum tentu kekerasan. Kekerasan ini pun dapat berupa kekerasan fisik maupun kekerasan psikis; baik kultural maupun struktural. 

Johan Galtung membagi tiga jenis kekerasan. Pertama, kekerasan struktural (structural violence) yang tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural dari pihak yang memiliki kewenangan menciptakan kebijakan publik. Kekerasan struktural ini menyebabkan ketertindasan manusia dan kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan menjalani kehidupan- nya. 

Kedua, kekerasan langsung (direct violence), yaitu kekerasan yang langsung ditujukan untuk menyakiti fisik atau psikis seseorang atau kelompok sosial. Pembunuhan, penganiayaan, ancaman, dan teror termasuk dalam kekerasan ini. 

Ketiga, kekerasan budaya (cultural violence) yang berasal dari aspek-aspek kebudayaan, bukan keseluruhan sistemnya. Oleh karena itu, kekerasan budaya bisa muncul dari agama, etnisitas, dan ideologi. Kekerasan ini berupa kebencian, stereotip, ketakutan, dan kecurigaan, sehingga dapat menjadi motor bagi kekerasan struktural maupun kekerasan langsung.

Konflik Vertikal dan Horizontal

Indonesia sebagai bangsa yang plural memiliki pengalaman konflik, baik konflik vertikal antara kelompok masyarakat dengan pemerintah, maupun konflik horisontal antar kelompok dalam masyarakat. Tercatat ada dua jenis konflik horisontal yang tergolong memiliki pengaruh besar. Pertama, konflik antaragama, terutama antara kelompok agama Islam dengan kelompok agama Nasrani, seperti yang yang mengemuka di Ambon, Jakarta, dan tempat lain. 

Kedua, konflik antarsuku, khususnya antara suku Jawa dengan suku lain di luar Jawa, selain itu juga antara suku Madura dengan Dayak dan Melayu di Kalimantan (Susan, 2010: 99). Selain kedua jenis konflik tersebut, masih ada jenis konflik yang ketiga, yaitu konflik intern-agama, konflik yang terjadi antarkelompok dalam satu agama yang di tahun-tahun terakhir ini juga menyita perhatian seperti kerusuhan Sampang tahun 2012 akibat konflik antara penganut Syiah dan Sunni, dan juga pertentangan sebagian umat Islam dengan kelompok Ahmadiyah.

Oleh karena itu, perdamaian menjadi suatu hal yang dapat didorongkan dalam masyarakat melalui berbagai jalur, salah satunya melalui pendidikan. Terlebih, pada masyarakat yang memiliki pengalaman konflik di mana peristiwanya telah terlewati, melakukan proses-proses sosial sebagai upaya peace building (membangun perdamaian) sangatlah penting untuk mencegah terjadinya konflik kembali di masa depan. Trauma-trauma konflik di masa lalu sangat mungkin menjadi memori kolektif masyarakat yang dapat menghambat relasi dan interaksi sosial yang positif. 

Upaya mengikis trauma dan memori konflik tersebut dan mentransformasikannya menjadi energi untuk saling menghormati dan bekerja sama, di antaranya adalah melalui pendidikan budaya damai di sekolah-sekolah, di mana peserta didik diharapkan dapat menjadi pembawa bendera perdamaian di masa depan.

Referensi: 
Atmanto, Nugroho Eko & Haryanto, Joko Tri. (2020). Menyemai Damai Melalui Pendidikan Agama. Yogyakarta: Diva Press

Posting Komentar untuk "Memahami Damai dan Konflik"