Syubhat Hadis Sahih
Selain kelompok yang mendakwa diri bermazhab ahlul
bait itu, semua lapisan umat sepakat bahwa Sahih Bukhari dan Sahih Muslim
adalah dua kitab yang paling valid setelah Quran sebagai sumber syariat.
Sebagian ulama bahkan menegaskan tiada keraguan sedikitpun menyangkut kesahihan
kedua kitab tersebut. Segelintir lagi, meski tak sampai yakin, tapi masih tetap
mengakui validitas magnum opus kedua penghulu ilmu hadis itu. Betapa pun
begitu, derajat kesahihan keduanya yang begitu tinggi tak lantas membuat
ijtihad para ulama harus sesuai dengan kandungan kedua kitab tersebut. Lho, kok
begitu? Bukannya hukum agama harus ada dalilnya dan dalil itu harus sahih?
Bukannya hasil ijtihad tidak boleh berseberangan dengan titah Baginda Nabi?
Bukankah ada riwayat dari banyak imam mazhab bahwa bila ada hadis sahih, maka
itu lah mazhab mereka, seperti dawuhnya Imam Syafii? Singkatnya, bukankah hukum
hasil ijtihad harus searah dengan ayat atau hadis sahih?
Seperti handai tolan sekalian, saat awal-awal belajar
fikih saya juga pernah penasaran dengan banyaknya hukum dalam fikih yang
sekelebat tampaknya bertentangan dengan hadis-hadis sahih, baik dalam
Bukhari-Muslim atau kitab hadis lainnya. Ngaji Bulughul Maram, misalnya, bikin
pelajar pemula seperti saya kian bertanya-tanya apa gerangan hukum-hukum di
kitab fikih Syafi'iyah ada yang tidak sejalan – bila enggan berkata tabrakan –
dengan hadis-hadis yang menjadi sandaran hukum. Menyimak Al-Muwaththa’ Imam
Malik juga tak kalah bikin heran, bagaimana bisa ulama sekaliber beliau
menyimpulkan hukum yang bertolak belakang dengan hadis yang tak jarang beliau
masukkan dalam karangannya tersebut. Belum lagi mendapati sebagian pendapat
yang disandarkan kepada hadis yang ramai ahli hadis kasih vonis lemah.
Rasa penasaran itu makin menjadi-jadi di zaman hujan
informasi ini, saat ramai ustad-ustad karbitan yang menyalahkan praktek dalam
mazhab tertentu dengan dalih tidak sesuai dengan hadis sahih atau dilandasi hadis
zaif. Bukan hal baru memang fenomena pendakwah setengah ilmu zaman kiwari
menuding ulama terdahulu dengan tuduhan lemah, namun bikin umat heboh. Syubhat
tentang hadis sahih ini bikin sebagian penuntut ilmu agama bingung dan
dihinggapi keraguan dengan apa yang mereka pelajari dari kitab-kitab para
fukaha atau bahkan dalam tahap tertentu membuat orang awam berani berpanjang
lidah kepada para ulama dengan mencurigai para alim bestari ini telah berpaling
dari sunah Baginda Nabi. Tentu handai tolan sudah sering menjumpai pertanyaan
“ikut sabda Nabi atau ikut pendapat ulama?” atau semacamnya dari pihak-pihak
yang tidak menghargai jasa para ulama.
Begini, ada banyak hal yang melatarbelakangi para
ulama menerima atau mengabaikan suatu hadis. Di antaranya adalah perkara sahih
atau tidak sebuat hadis. Sebelum perkara menjadi dalil hukum, para ulama sudah
berselisih dalam menghukumi sebuah hadis. Hal ini bukan lah monopoli para ahli
hadis semata, fukaha dan para ahli usul fikih juga punya andil dalam menghukumi
status suatu hadis yang pada gilirannya bisa jadi berbeda dengan kesimpulan
ahli hadis. Makanya tak jarang kita menjumpai hadis yang kesahihannya
disengketakan antara ahli hadis dan fukaha. Kemudian, ada kalanya sebuah hadis
dari segi sanad sudah disepakati kesahihannya, namun tidak diamalkan atau tidak
dijadikan sumber hukum oleh para fukaha bisa jadi karena; pertama, matan atau
redaksinya tidak sahih. Ada ilat khafiah kalau istilah canggihnya. Sebab
kesahihan sanad tidak berarti redaksinya juga sahih atau vice versa. Kedua,
hadis tersebut mansukh menurut mujtahid yang menolaknya. Jadi, kesahihan sanad
dan redaksi suatu hadis tidak menjamin ia akan langsung diamalkan. Ketiga, ada
hadis lain yang lebih kuat dan lebih jelas dari segi men-dalalah kepada hukum.
Keempat, hadis sahih tersebut bisa jadi berselisih
dengan kaidah-kaidah syarak yang umum yang juga bersandar kepada dalil ayat
atau hadis hingga ada fukaha yang tidak mengamalkannya. Terakhir, kandungan
hadis sahih itu menyangkut kasus tertentu, waqi’at al-‘ain istilahnya. Masih
banyak sebab-sebab lainnya yang membuat sebuah hadis tidak dijadikan sumber
hukum oleh semua atau sebagian fukaha lintas mazhab. Silakan handai tolan tilik
sendiri kitab-kitab usul fikih atau syarah Bulughul Maram Syeikh Nuruddin Itr lah
yang paling dekat untuk contoh sebab-sebab di atas dan mengetahui sebab-sebab
lainnya. Jadi, tidak benar itu mendudukkan pendapat para fukaha berseberangan
dengan hadis Baginda Nabi. Meski secara sekilas terlihat begitu, namun pada
dasarnya, setelah di-zoom-in, produk ijtihad para ulama memiliki dalil sahih
dan sudah sangat sesuai dengan titah Nabi. Para ulama punya alasan kuat dan
dibenarkan saat menerima atau menolak sebuah hadis, makanya mohon dijaga lidah
handai tolan sekalian jangan sampai menyentuh kehormatan mereka hanya dengan
modal setengah ilmu.
Soal wasiat para Imam mazhab yang disebut di atas itu
benar adanya. Memang ada riwayat tentang wasiat tersebut dari Imam A’zam Abu
Hanifa, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad dengan lafaz yang berbeda-beda
tapi intinya untuk berpegang dengan ayat atau hadis sahih bila ada pendapat
mereka yang tidak sesuai pada zahirnya dengan dua sumber itu dan bahwa hadis
sahih adalah mazhab mereka. Terlepas dari kesahihan riwayat-riwayat itu, handai
tolan mohon tahu diri lah. Perhatikan kepada siapa para Imam Mazhab berwasiat,
Imam Abu Hanifah berkata demikian buat ulama sekaliber Qadhi Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, Imam Malik berdawuh kepada ulama selevel
Abdullah bin Wahab, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad juga berwasiat kepada
murid-muridnya yang sudah mencapai martabat ijtihad. Lihat penjelasan lengkap
Imam Nawawi dalam Majmu’-nya menyangkut perkataan para Imam Mazhab tersebut
agar handai tolan tak bertingkah macam katak yang hendak menjadi lembu, ilmu tak
banyak tapi berlagak macam ahli ilmu.
Salam.
Ditulis oleh Syakier Anwar
Posting Komentar untuk "Syubhat Hadis Sahih"