Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fikih Khilaf yang Terzalimi

Fikih Khilaf yang Terzalimi

Mendengar nama ilmu fikih perbandingan mazhab atau fikih komparatif Anda bisa jadi terpana. Padahal, sejatinya bagi para pengkaji fikih dengan manhaj salaf, ilmu perbandingan mazhab ini bukanlah hal baru. Di dayah atau pusat pengajian tradisional lainnya, setelah beberapa waktu belajar fikih dasar secara intensif, santri level menengah ke bawah saja, walau dalam bentuk yang sederhana, akan langsung diajari kitab yang mengandung berbagai pendapat antar mazhab. Saat mengaji Fathul Mu’in bersama I'anatu al-thalibin, misalnya, para santri akan sering menjumpai Syekh Abu Bakr Syatha dalam hasyiahnya kasih informasi tipis-tipis bahwa pendapat tertentu dalam mazhab Syafi sesuai atau berbeda dengan tiga mazhab yang lain.

Di level menengah ke atas, saat mengkaji Kanz al-Raghibin, contohnya, meski yang menjadi fokus adalah menyeksamai khilaf-khilaf dalam dalam mazhab Syafii, tak jarang Syihabuddin al-Qulyubi menandai beberapa pendapat yang sama atau beda dengan yang ada di mazhab lain. Di level selanjutnya, anak-anak dagang ini sudah mulai mutalaah kitab Majmu’-nya Imam Nawawi atau al-Hawi al-Kabir anggitan Imam Mawardi dengan sesekali ngintip Bidayah al-Mujtahid-nya Ibnu Rusyd. Dua dekade belakangan, kitab-kitab seperti al-Mizan al-Kubranya-nya Syekh Sya’rani, Rahmatul Ummah karangan Kadi kerajaan Shafadiah sampai Muhadharat fi Fiqh al-Muqaran gubahan Syekh al-Syahid al-Buthy, karya monumentalnya Syekh Wahbah al-Zuhaily, dan banyak kitab-kitab lainya yang membahas khilaf lintas mazhab baik yang lawas atau kontemporer sudah masuk ke dayah-dayah dalam versi cetak maupun digital.

Selain sebagai bacaan mutalaah, mempelajari silang pendapat para ulama adalah cara jitu untuk mengerti betapa kayanya ilmu fikih dan juga dapat mengetahui seberapa terikat pendapat-pendapat di setiap mazhab dengan dengan sumber-sumber hukum islam, quran, sunnah, ijmak, dan kias. Ini penting dipahami, apalagi di saat banyak dai-dai pinggiran yang sengaja mengesankan bahwa pendapat para fuqaha vis-a-vis dengan sabda Baginda Nabi r. Faedah lainya –secara khusus bagi para pelajar usul fikih– adalah dengan mendalami ilmu khilaf ini para pelajar akan mengerti fungsi dan peran usul fikih dalam proses istinbat hukum dari quran dan sunnah. Mereka akan mengerti pengaruh kuat dari ilmu bahasa Arab, ilmu tentang asbab nuzul, nasikh-mansukh, ilmu logika, kajian hadis,  et cetera dalam laku ijtihad para fukaha.


Dari definisinya saja, tanpa embel-embel perbandingan atau apa saja itu, fikih sudah mengindikasikan adanya perbedaan. “Ilmu tentang hukum syarak yang amaliah yang disarikan dari dalil yang rinci,” begitu biasanya para ahli mendefinisikannya. Setengah dari dalil itu adalah teks-teks sakral. Lain orang yang menyarikan, lain kesimpulannya. Bahkan tak jarang orang yang sama dengan dalil yang sama di kesempatan berbeda akan menyimpulkan hal yang berbeda. Ia adalah medan pertempuran dugaan-dugaan. Sangat sedikit masalah dalam ilmu ini yang disepakati hukumnya. Pada dasarnya memang mengaji fikih adalah menyeksamai perbedaan. Fikih sudah begini sejak masih dalam bentuk riwayat-riwayat hingga masa ia sudah matang dalam rupa pendapat-pendapat yang disokong dalil dan illat. Nampak, kan, bahwa keinginan untuk menyatukan seluruh umat dalam satu mazhab dan ikut satu pendapat saja hanyalah utopis belaka.

Mempelajari fikih tanpa wawasan terhadap pendapat-pendapat berbeda rasanya macam menikmati kuah Masam Keu-eung tapi ngga ada masam dan keu-eung-nya. Di samping itu, berfikih tanpa pengertian yang dalam tentang khilafiah bisa bikin orang jadi karbitan, gampang meledak dan meledek, atau bikin orang lain jatuh dalam kebingungan. Tengok saja betapa sering terjadi konflik yang tak perlu di tengah masyarakat hanya disebabkan oleh dai yang tak mengerti suatu masalah, tak tahu ada banyak pendapat dalam suatu kasus, lantas koar-koar ngotot seolah pendapat yang ia sampaikan adalah satu-satunya kebenaran. Di sisi lain, kita juga terheran-heran melihat ada pendakwah menebar pesona dengan aneka pendapat yang tak seharusnya secara serampangan disampaikan kepada khalayak awam. Dua hal ini adalah kezaliman. Karena itu ilmu fikih khilaf, yang akhir-akhir ini populer dengan nama fiqh muqaran atau fikih perbandingan mazhab –megah nian istilahnya–, penting dipelajari dan dihayati dengan benar oleh para pengkaji fikih secara luas, agar tak sembarangan menuding dan tak ceroboh dalam menyampaikan.

Mempelajari ilmu khilafiah seperti fikih ini tak beda dengan ilmu-ilmu yang lain. Anda tak bisa langsung belajar spesialis jantung tanpa melalui dasar-dasar ilmu kedokteran. Anda harus tekun mempelajari bahasa-bahasa pemograman sebelum belajar bikin peranti lunak atau bahkan sistem operasi canggih seperti orang-orang. Jangan buru-buru, jejaki jalurnya para ulama terdahulu. Pelajari secara bertahap. Mempelajari perbandingan mazhab langsung tanpa pendahuluan dengan fikih dasar dalam matan-matan yang ringkas adalah kelaliman lainnya terhadap ilmu ini. Setelah belajar, pun, jangan zalim dengan langsung mendapuk diri jadi tukang tarjih antar mazhab. Santai saja, sering-sering bercermin, agar tak merusak diri dan pada gilirannya akan merusak orang lain.

Bagi Anda yang tak mau bersusah payah mendalami fikih yang dalam kali lubuknya itu, ikut saja arahan para ahli ilmu. Tak tahu mana yang mesti diikut, baca postingan Serambi Salaf sebelum ini. Begitu.

Ditulis oleh Syakier Anwar

Posting Komentar untuk "Fikih Khilaf yang Terzalimi"