Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sega Jamblang dan Daun Jati

Sega jamblang dan Daun Jati

Aku melangkah terburu-buru, menyisir barisan pohon jati yang masih muda di tepi jalan. Deru napasku berkejaran dengan iringan orkestra malam antara para kodok dan jangkrik, riuh, tetapi membuat sunyi makin mencekat. 

Saat aku sampai di halaman rumah, Wak Suti sudah duduk di dipan jati tua yang ada di teras rumahnya sambil mengunyah daun sirih. Kebiasaannya mengunyah daun sirih membuat barisan giginya masih saja kokoh sampai setua ini Wak Suti berjanji akan menceritakan sejarah sega jamblang kepadaku sepulang aku menunaikan salat isya di surau. 

“Asalamualaikum, Wak.” Aku lantas mengecup punggung tangan Wak Suti yang kasar dan keriput, tepian kukunya berwarna kehitaman, Aroma tangan itu selalu khas, campuran aroma daun sirih dan aroma asap tungku. Sekilas, aku dan Wak Suti memang lebih mirip nenek dan cucunya ketimbang uwak dan keponakannya. 

Kami kini duduk bersisian, Aku menatapi pohon nangka besar yang tumbuh di depan rumah Wak Suti. Pohon itu mungkin seusia dengan ayahku. Pohon yang menyimpan cerita masa kecilku yang asri seperti desa ini dulu. Di dahan-dahan kokohnya dulu ayahku membuatkan rumah pohon yang kini telah jadi puing-puing kayu yang lapuk. 

Ayahku adalah bungsu dari tiga belas bersaudara. Nenek dan Kakek adalah orang asli Cirebon. Rumah yang ditempati Wak Suti usianya sudah sangat tua, menyimpan seluruh kehangatan keluarga besar ayahku.

“Dulu, waktu kamu masih sekolah dasar, jalanan itu belum mulus seperti sekarang, Nang.” Wak Suti menatap ke jalan di depan rumahnya yang baru saja di aspal dua tahun yang lalu.

“Pelan-pelan, petak-petak sawah itu berubah jadi ruko-ruko yang disewakan.” Mataku mengikuti arah pembicaraan Wak Suti, menuju jajaran ruko yang dindingnya masih tampak baru. 

“Apa kamu tidak bosan mendengarkan sejarah sega jamblang? Bukannya Uwak sudah menceritakannya kepadamu berulang kali?” Uwak kini menatapku yang tengah hanyut dalam suasana desa yang memang telah banyak berubah. 

“Tidak, Wak, apalagi sekarang aku mendengarnya hanya saat liburan seperti ini.” Aku menanggapi pertanyaan Wak Suti. Entah kenapa, mendengar langsung cerita itu dari penuturan Wak Suti membuat kisah itu terdengar antik di telingaku, tetap menarik meski telah kudengar berulang kali. 

Tentang masa remaja Wak Suti yang beliau habiskan di masa pendudukan Belanda dan kiprahnya membantu H. Abdul Latief dan Nyonya Pulung menyediakan nasi jamblang bagi para buruh pabrik Belanda yang tak memiliki bekal sarapan pagi. Penuturan seorang saksi mata membuatku seperti menyaksikan sendiri derap langkah para buruh yang bertelanjang kaki menempuh perjalanan jauh. 

Tanganku mulai meremas-remas otot-otot di betis kaki Wak Suti. Kaki yang berusia lebih dari 70 tahun itu masih saja _kuat mengumpulkan pakan untuk kambing-kambing peliharaannya.

“Kamu masih ingat ora, Nang, mengapa daun jati dipilih oleh Nyonya Pulung untuk membungkus sega jamblang?” tanya Wak Suti berbasa-basi agar aku tak diam saja menyimak ceritanya. 

“Karena daun jati bertekstur kasar dan tidak mudah sobek, Wak. Tekstur itu membuat nasi yang sudah dibungkus tidak akan cepat basi walaupun terbungkus dalam waktu yang cukup lama.” Aku menjawab pertanyaan itu sepenuh ingatanku. 

“Bahkan, para pekerja, yang berasal dari wilayah yang cukup jauh, tak jarang menyimpan daun jati pembungkus sega jamblang yang disantapnya untuk dijadikan payung saat hujan.” Wak Suti menambahkan jawabanku sambil menepuk nyamuk di lututnya. 

“Cepatlah tumbuh besar, Nang. Belajarlah sungguh-sungguh, raih pendidikan tinggi seperti ayahmu. Jadilah orang dermawan seperti H. Abdul Latief dan Nyonya Pulung. Keberkahan sedekah mereka terus mengalir pada anak-cucu mereka hingga sekarang.” Wak Suti menutup kisahnya dengan nasihat yang hampir selalu sama. Pelajaran hidup dari sejarah nasi jamblang yang kudengar berulang kali itu kini mengendap menjadi cita-cita dalam dadaku. 

Tak terasa malam makin larut. Aku dan Wak Suti masuk ke dalam rumah, meninggalkan pemandangan malam yang ditingkahi tarian kunang-kunang. Aku harus mempersiapkan staminaku untuk perjalanan pulang ke Bekasi. 

###

Sudah sedari tadi penciumanku dimanjakan oleh aroma thas berbagai lauk pelengkap sega jamblang. Rupanya Wak Suti sedang memasak menu kesukaanku. Aku baru saja selesai berkemas. Ini adalah hari terakhirku berlibur di kampung halamanku, Desa Setu Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. 

Plered menjadi sentra berbagai kerajinan khas Cirebon. Di kecamatan inilah Wisata Kota Batik yang memamerkan berbagai keindahan batik Cirebon berada. Plered juga merupakan sentra pembuatan kerupuk mares. Setiap hari aku bisa dengan mudah menjangkau tempat-tempat wisata. Target utamaku adalah mencicipi seluruh kuliner khas Cirebon yang lezat. 

“Hamid, kamu sudah berkemas? Ayo, kita sarapan dulu.” Tou berdiri di pintu kamarku, mengajakku menyambut aroma sega jamblang yang memanggil-manggil sejak tadi 

“Sudah, Bu,” kataku sambil meletakkan tasku di depan kamar. Aku segera menyusul langkah Ibu ke ruang makan, Setelah sarapan kami akan langsung bertolak ke Bekasi. 

Sega Jamblang dan Daun Jati
Nukil: blog.ppns.ac.id

Aroma sega jamblang makin kuat saat langkahku makin mendekati ruang makan, Benar saja, Wak Suti sedang sibuk menyajikan makanan khas Cirebon kesukaanku itu. Ini akan jadi pemandangan yang kurindukan apabila telah kembali ke Bekasi. Dipan bambu dengan piring-piring beralaskan daun jati dan mangkuk-mangkuk berisi beragam lauk-pauk pelengkap sega jamblang, sate kentang, telur goreng, sambal goreng, dan itu, mangkuk dengan kuah kecokelatan yang tampak paling lezat, semur hati kesukaanku.

Kami semua telah menempati posisi masing-masing. Keluargaku dan keluarga Wak Suti dengan sepiring sega jamblang dan lauk favorit masing-masing duduk dengan posisi melingkar. Wak Suti benar-benar andal memasak sega jamblang karena belajar memasak langsung pada sang legenda di balik sega jamblang. 

Sungguh, nasi yang kumakan benar-benar pulen dan istimewa. Nasi pulen dengan aroma daun salam dan batang sereh ini dimasak oleh Wak Suti dari hasil panen sendiri dan ditanak di atas tungku api. Meski butuh waktu lama memasak seperti itu, cita rasa nasinya membayar seluruh proses memasaknya yang tidak praktis. 

Sarapan pagi dengan sega jamblang yang beralaskan daun jati sambil mengingat kisah yang diceritakan Wak Suti tadi malam membuatku membayangkan kenikmatan para buruh yang menerima nasi sedekah Nyonya Pulung dan suaminya.

Acara makan bersama pagi itu hampir selesai. Ketika aku sedang menyesapi rasa semur hati yang tersisa di jemariku, Ayah memintaku agar bersegera.

“Kalau saja liburan masih tersisa ya, Wak, Hamid masih siap makan sega jamblang buatan Uwak setiap hari,” keluhku pada Wak Suti yang berjalan sambil merangkul pundakku. 

“Nang ..., Nang, wis to, kamu harus semangat_belajar supaya bisa dadi pengusaha sukses, seperti H. Abdul Latief dan Nyonya Pulung.” Wak Suti mengingatkanku lagi pada sejarah sega jamblang dan kedermawanan sang pembuat sega jamblang yang berulang kali diceritakannya itu, 

“Doakan Uwak schat selalu yo, Nang, supaya bisa memasakkan lagi sega jamblang kesukaanmu di liburan berikutnya,” ujar Wak Suti sambil menatapku hangat. Aku mengecup tangan Wak Suti. Ia lantas merangkulku penuh kehangatan. Saat itulah aku membisikkan rasa terima kasihku yang mendalam ke telinga Wak Suti untuk semua pelajaran hidup yang berharga yang akan membuat masa mudaku lebih berisi. 

Sebelum kami beranjak dari teras rumahnya, Wak Suti menyerahkan sebuah kardus yang diikat dengan tali rafia kepadaku. Aku bisa mencium aroma terasi dan rempah-rempah sega jamblang yang menyeruak dari dalam kardus.

Warna-warni kerupuk mares yang menyembul ke permukaan kardus tampak menggiurkan. Bahagianya aku, Wak Suti membekali kami dengan beberapa bungkus sega jamblang dan beberapa oleh-oleh khas Cirebon, seperti terasi udang dan kerupuk melarat. 

“Terima kasih ya, Wak. Maaf kami sudah banyak merepotkan Uwak dan keluarga. Asalamualaikum,” ucap Ayah sambil mengecup tangan kakak sulungnya. Aku dan Ibu lebih dulu masuk ke dalam angkutan kota yang akan mengantar kami ke terminal. 

“Waalaikumsalam!” Wak Suti melambaikan tangannya. Kulihat pandangannya terus mengikutilaju kendaraan yang kunaiki. Sungguh pemandangan yang mengangkat genangan hangat di mataku. Tatapan Wak Suti terus mengingatkanku pada inspirasi mulia dari sejarah sega jamblang.

Penjabaran singkat

Setelah membaca cerita singkat atau cerpen ini dapat diambil makna dalam tiga hal, pertama mengenai sega jemblang dengan daun jati, orang dermawan dan referensi liburan.

Penukilan:
Abadan, Fathiah Islam. (2018). Jalan Panjang Meraih Cita. Kemendikbud: Jakarta.

Posting Komentar untuk "Sega Jamblang dan Daun Jati"