Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resiko Tercabutnya Iman

Penukilan dari kitab Minhajul Abidin, lanjutan.

Kami jelaskan di sini, bahwa semua perkara itu akhirnya kembali kepada satu poin penting, dan itu adalah: "resiko tercerabut dari karunia iman." Itu adalah poin yang bisa mematahkan punggung dan membuat muka menjadi pucat, menghancurkan hati, menghentikan detak jantung, yang mengalirkan air mata darah dari para hamba. Inilah akhir yang paling ditakuti oleh orang yang takut, yang ditangisi oleh mata orang-orang yang menangis.

3 Macam Kesedihan

Beberapa wali Allah menjelaskan, bahwa kesedihan itu ada tiga macam:
  1. Sedih terhadap ibadah yang dia lakukan, apakah akan diterima atau tidak oleh Allah Ta'ala.
  2. Sedih terhadap dosa yang ia lakukan, apakah akan diampuni atau tidak.
  3. Sedih memikirkan kalau-kalau iman makrifat dicabut dari dirinya.
Sementara itu, orang-orang yang mukhlis berkata, "Pada hakikatnya semua kesedihan itu satu, yaitu sedih memikirkan resiko tercabutnya iman atau makrifat. Sedang semua bentuk kesedihan lainnya, rasa cemas, dan kekhawatiran, tidaklah signifikan dibanding kehilangan iman."

Yusuf bin Asbath menuturkan bahwa dia telah bertemu dengan Imam Sufyan ats-Tsauri, yang tengah menangis sepanjang malam. Yusuf pun bertanya, "Apakah engkau menangis karena dosa-dosamu?"

Sufyan kemudian membawa jerami dan berkata, "Dosa itu lebih ringan bagi Allah daripada ini. Tapi yang aku takutkan ialah, bahwa Allah akan mencabut anugerah Islam dariku."

Kita memohon kepada Allah Yang Mahapemberi anugerah, semoga Dia tidak menguji kita dengan mendurhakai-Nya, dan semoga Dia menyempurnakan nikmat Nya yang banyak dengan anugerah-Nya kepada kita. Semoga pula Dia mematikan kita dalam keadaan Islam (berserah diri). Sungguh Dia Maha Penyayang dari seluruh yang penyayang.

Jalan Rasa Takut atau Jalan Harapan

Engkau mungkin akan bertanya: Jalan mana yang harus aku tempuh, apakah "jalan rasa takut (khauf)" atau "jalan harapan (raja')"?

Kami jawab: Hendaknya engkau memilih jalan di antara kedua jalan itu, yaitu jalan tengah. Sebab, seperti telah diungkapkan oleh banyak orang saleh dan ahli ibadah, bila "harapan" itu lebih dominan, engkau bisa masuk ke dalam sekte murji'ah yang menyimpang. Sedang bilamana "rasa takut" nya lebih dominan, maka ia bisa terjerumus menjadi seorang khuramiyah atau khawarij.

Dengan kata lain, tidaklah benar untuk hanya bersandar pada salah satu di antara rasa takut dan harapan itu. Sebab, pada hakikatnya, harapan yang hakiki itu tidak terlepas dari rasa takut yang hakiki. Sedangkan rasa takut yang hakiki tidak pula terlepas dari harapan yang hakiki. Oleh karena itu dikatakan, bahwa seluruh harapan hanya dimiliki oleh orang yang takut, bukan orang yang merasa aman. Dan semua rasa takut itu hanya dimiliki oleh orang yang memiliki harapan, bukan orang yang berputus-asa.

Jika engkau menanyakan: Apakah salah satu dari keduanya bisa lebih kuat dari lainnya? Atau karena suatu keadaan menjadi lebih banyak?

Ketahuilah, bahwa bagi seorang hamba yang sehat dan kuat, "rasa takut" itu lebih utama. Dan apabila ia dalam kondisi sakit atau lemah, apalagi bila ia lebih cenderung kepada akhirat, maka "harapan" jadi lebih utama baginya. Ini yang kami dengar dari para ulama yang berbicara masalah ini.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman,
"Aku berada di sisi orang yang hancur hatinya karena takut kepada-Ku."
Pada situasi seperti itu, dominasi "harapan" lebih cocok, sebab saat itu hatinya tengah hancur. Sebaliknya di saat hati kita sehat dan normal, maka 'rasa takut" bisa lebih dominan di hati dan pikiran manusia. Ini sudah dinyatakan dalam Al Qur'an:
"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih." (Fushshilat: 30)
Jika engkau bertanya: Bukankah banyak hadits yang memerintahkan kita untuk berbaik sangka terhadap Allah?

Maka bisa kami jawab: Perintah untuk berbaik sangka itu mengandung maksud sangat khawatir berbuat maksiat kepada-Nya, takut atas siksa-Nya, dan keras beribadah kepada-Nya.

Harapan dan Khayalan

Berkaitan dengan soal harapan, penting bagimu untuk memahami perbedaan antara "harapan" dan "khayalan". Harapan itu mempunyai satu dasar pijakan, sedang khayalan tak punya dasar sama sekali.

Contohnya, petani menanami ladangnya dengan suatu jenis tanaman pokok, dan ia bersungguh-sungguh merawatnya sehingga panennya berhasil. Di situ ia berkata, "Aku berharap ladang ini dapat menghasilkan sekian ton jagung." Ini adalah harapan.

Di sisi lain, ada seorang petani yang tidak menggarap ladangnya sama sekali sepanjang tahun, tapi ia berharap bisa ikut panen besar di musim panen nanti. Maka, "harapan" ini tidak punya dasar, dan tidak lebih dari pikiran yang sia-sia. Itu adalah "khayalan" belaka.

Demikian pula halnya dengan seorang hamba apabila bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah Ta'ala dan berhenti dari berbuat maksiat terhadap-Nya, kemudian mengatakan, "Aku berharap Allah menerima amal perbuatanku yang sedikit ini dan menyempurnakan kekurangan yang ada, memberiku pahala yang besar, memaafkan kekeliruan-kekeliruanku," dan ia berbaik-sangka kepada Allah, maka ini adalah suatu bentuk harapan darinya (hamba).

Adapun jika ia lalai, durhaka, melakukan berbagai kemaksiatan, tidak peduli dengan murka, ridha, janji dan ancaman Allah, kemudian ia mengatakan, "Aku berharap dari Allah mendapatkan surga dan keselamatan dari api neraka," maka itu tidak lebih dari khayalan atau angan-angan semata.

Kalau ia sebut itu sebagai "berbaik sangka" kepada Allah, ketahuilah bahwa pikiran seperti itu sesat, karena lebih bersifat khayalan.

Dalam kaitan dengan pengertian ini, seseorang merangkai nizham sebagai berikut.
"Engkau berharap keselamatan, namun tidak menempuh jalannya. Perahu itu tidak dapat berjalan di tempat yang kering."
Prinsip ini menjadi sangat jelas di dalam sebuah hadits, dimana Nabi saw. bersabda,
"Orang yang cerdas adalah orang yang menunduk kan nafsunya dan beramal untuk bekal setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang menuruti nafsunya dan keinginannya sendiri, lalu berharap kepada Allah.
Dalam hal ini, Hasan al-Bashri mengatakan, "Banyak orang mengharapkan ampunan di akhirat, tapi mereka meninggalkan dunia ini dengan tangan kosong, tanpa ada amal baik yang mereka bawa. Meski mereka mengaku berbaik sangka kepada Allah, Sang Pencipta, sejatinya orang orang itu adalah pendusta. Sekiranya ia berbaik-sangka kepada Tuhannya, maka tentu ia akan beramal dengan baik kepada-Nya."

Kemudian Hasan al-Bashri membacakan ayat berikut ini,
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih." (al Kahfi: 110)
Dan firman-Nya,
"Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah engkau sangka terhadap Rabbmu, dimana prasangka itu telah membinasakan engkau, maka jadilah engkau termasuk orang-orang yang merugi." (Fushshilat: 23)
Dari Ja'far adh-Dhab'i, ia berkata, "Aku melihat Abu Maisarah al-'Abid tulang iganya nampak menonjol akibat kesungguhannya dalam beribadah dan mujahadah. Aku berkata kepadanya, 'Semoga Allah memberimu rahmat, karena sesungguhnya rahmat Allah itu luas. Tapi ia kemudian marah dan berkata, "Apakah engkau melihat tanda-tanda pada diriku bahwa aku berputus asa dari rahmat Allah? Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat terhadap orang-orang yang baik. Perkataannya itu membuatku menangis."

Kekasih Allah

Apa pendapatmu apabila para rasul, wali, dan orang-orang shaleh mengerahkan sekuat tenaga diri mereka untuk beribadah kepada Allah dan mengambil semua langkah untuk mengindar dari perbuatan dosa? Apakah mereka tidak berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla? Tidak, justeru mereka lah yang lebih berbaik sangka kepada Allah, dari siapapun di dunia ini. Mereka punya keyakinan yang lebih kuat dari kita, tentang luasnya rahmat Allah dan kemurahan hati untuk memberi maaf. Mereka juga tahu persis, bahwa apabila hal itu tidak dilakukan dengan upaya keras, maka hanya akan menjadi angan-angan yang memperdaya.

Maka ambillah i'tibar dalam poin ini, renungkanlah keadaan mereka dan bangunlah dari tidurmu. Semoga Allah Ta'ala memberikan taufiq.

Penukilan:
Imam Al-Ghazali. (2013). Minhajul Abidin: Jalan Para Ahli Ibadah. Diterjemahkan oleh: Abu Hammas as-Sasuky. Jakarta: Khatulistiwa Press

Posting Komentar untuk "Resiko Tercabutnya Iman"