Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kerupuk Melarat Cirebon

Perjalanan Pulang

Kami tidak banyak berdiskusi di perjalanan, Mata kami sibuk menyisir setiap detail desa ini beserta seluruh kenangan berharga yang tertinggal di jengkal-jengkal tanahnya. Lapangan hijau, derap kaki yang ditingkahi tarikan dan uluran tangkas anak-anak yang bermain layang-layang, orang-orangan sawah yang berayun sesekali, tawa riang anak-anak yang berlarian membawa senapan dari gedebok pisang.

Aku tidak tahu apakah ini perjalanan pulang kembali atau perjalanan pergi meninggalkan. Desa inilah yang membuatku selalu merasakan kesejatian pulang Lamunanku buyar saat mobil yang kutumpangi mulai berjalan melambat. Rupanya kami telah memasuki kawasan Tengah Tani.

"Jalur ini memang sering macet," kata ayah memulai perbincangan sambil menyeka keringat di dahinya.

"Apakah karena banyak kios oleh-oleh, Yah?" tanyaku memastikan.

"Betul, banyak mobil wisatawan yang keluar masuk kios untuk membeli oleh-oleh khas Cirebon." jawab Ayah sambil melongok keluar jendela mobil memperhatikan kendaraan yang berjejal-jejalan menanti perjalanan lancar kembali.

"Oleh-oleh yang paling banyak diminati di daerah ini adalah kerupuk melarat karena daerah ini merupakan salah satu pusat produksinya," Ibu menambahkan jawaban Ayah. Mudah saja membuktikan perkataan Ibu. Begitu memasuki kawasan Tengah Tani, aku dimanjakan dengan pemandangan tampah-tampah yang berjajar rapi di atas atap-atap rumah yang berisi lempengan berwarna warni. Pemandangan seperti itu akan hilang begitu Desa Tengah Tani terlewati.

"Oh, begitu, Bu. Ngomong-ngomong, kenapa disebut "kerupuk melarat" ya. Bu? Bukankah kata melarat itu identik dengan kemiskinan? Setelah sekian lama menyebut nama kerupuk itu, baru kali ini aku penasaran. Siapa tahu ada sejarah di balik kuliner Cirebon yang satu ini, seperti halnya sega jamblang.

"Sebenarnya nama tersebut bukan nama yang diberikan oleh pembuat kerupuk melarat saat pertama kali dibuat tahun 1920-an. Nama awalnya adalah kerupuk mares. Kata mares diambil dari kata lemah yang bermakna tanah dan kata ngeres karena kerupuk ini diolah dengan tanah yang kasar atau pasir," Ibu memulai pemaparan sejarah di balik nama kerupuk itu. Aku benar benar baru mengetahuinya sekarang. Selama ini aku mengira kerupuk itu digoreng dengan pasir panas supaya unik saja.

"Lalu kenapa namanya berubah jadi kerupuk melarat?" aku bertanya lagi. Pertanyaanku belum sepenuhnya terjawab.
Sejarah Kerupuk Melarat Cirebon
Nukil: kim.cirebonkota.go.id
"Nama kerupuk melarat mulai muncul di awal tahun 1980-an. Betul katamu, Nang, kata melarat merupakan simbol kemiskinan. Kerupuk melarat yang digoreng menggunakan pasir merupakan cerminan kreativitas masyarakat Cirebon yang terkena dampak krisis ekonomi. Kesulitan ekonomi menyebabkan harga minyak melambung tinggi dan tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat saat itu. Terjawab sudah rasa penasaranku,

"Jadi, kata melarat memang tercetus menjadi nama lain kerupuk mares untuk menggambarkan kondisi ekonomi saat kerupuk ini pertama kali dibuat ya, Yah?" aku kembali menarik kesimpulan.

"Mengagumkan sekali masyarakat Cirebon kala itu ya, Bu. Dalam keadaan yang sulit, mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka malah mencetuskan kuliner khas tanah mereka, sungguh kreatif." Aku tidak menyangka kerupuk melarat yang diminati para wisatawan hingga kini itu, justru muncul karena kondisi yang sulit berpuluh tahun yang lalu. Aku kembali mengambil pelajaran berharga dari sejarah kuliner kampung halamanku. Aku jadi ingin mendengarkan sejarah kerupuk melarat dari penuturan Wak Suti

"Betul sekali, Hamid. Jadilah seperti para pendahulumu yang pantang menyerah dan tak henti berkarya," ujar Ayah sambil mengacungkan jempolnya dan tersenyum ke arahku, mungkin karena kesimpulanku yang cemerlang. Nasihat Ayah dari sejarah kerupuk melarat telah kusimpan dengan baik dalam jiwa, menyatu bersama pelajaran hidup dari sejarah sega jamblang.

Suasana jalanan makin ramai karena kehadiran para pedagang yang memanfaatkan kemacetan untuk menjajakan dagangan mereka kepada para penumpang yang malas menembus keramaian untuk membeli oleh-oleh. Ada yang menjual minuman, tisu, berbagai makanan ringan, juga berbagai oleh-oleh khas cirebon.

"Nah, bagaimana dengan sejarah sega jamblang, Hamid?" rupanya Ibu ingin mendengar penuturanku tentang sejarah sega jamblang yang selalu kunanti-nantikan mendengarnya dari Wak Suti.

"Oh, kalau sejarah sega jamblang Hamid sudah pernah mendengarnya dari penjelasan Wak Suti. Ibu mau mendengarnya dari Hamid?" alcu sudah menyiapkan penuturan seperti yang diceritakan Wak Suti untuk kusampaikan kepada Ibu.

"Betulkah? Wah, kalau begitu, giliran Hamid yang menjelaskan sejarah sega jamblang!" ujar Ayah membuatku tambah bersemangat.

Tak terasa perjalanan sudah lancar kembali, titik kemacetan telah terlewati. Ayah dan Ibu tampak bersiap menyimak penjelasanku.

"Ayah dan Ibu tahu kan kenapa sega jamblang dinamai demikian?" aku memulai pemaparanku dengan pertanyaan yang menarik.

"Karena kuliner itu berasal dari daerah Jamblang, bukankah begitu?" ayah mencoba menjawah.

"Betul sekali. Jadi, tidak ada kaitannya sama sekali dengan buah jamblang. Ternyata nasi jamblang itu sudah ada sejak zaman kolonial Belanda...."

Insiden dan Pembelajaran Nasehat Orang Tua

Demi mendengar teriakan orang-orang di jalan, kalimatku terhenti. Aku makin cemas saat kendaraan yang kami tumpangi mengerem secara mendadak dan menimbulkan guncangan yang cukup keras, Beberapa penumpang terjerembab dari tempat duduknya. Kepalaku bahkan membentur sudut dinding mobil bagian belakang. Rasanya nyeri sekali. Suasana menjadi riuh dan penul kepanikan.

"Suara apa itu, Yah?" tanya Ibu dengan wajah yang penuh kecemasan. Memang betul semuanya bisa mendengar suara benturan yang sangat keras disertai suara benda. yang pecah. Perjalanan kami pun kembali terhenti. Seluruh penumpang berebut untuk keluar dari kendaraan. Begitu juga dengan aku dan keluargaku. Jalanan menjadi ramai seketika.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun." Aku mencengkeram tangan ayahku, Ternyata telah terjadi tabrakan di depan kami. Baru kali ini aku menyaksikan sebuah kecelakaan seperti itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat seorang remaja tergeletak di tengah jalan tanpa pelindung kepala atau helm. Anak lelaki yang kini tak sadarkan diri itu seusia denganku.

Tidak lama setelah kecelakaan, sirine mobil ambulans dan mobil polisi terdengar bersahut-sahutan dari kejauhan menuju lokasi kecelakaan. Ayah ikut membantu proses evakuasi pemuda itu ke dalam mobil ambulans. Kuperhatikan tangan Ayah gemetar setelah melihat kondisi anak muda itu dengan jarak lebih dekat.

Beruntung tidak ada penumpang atau sopir yang terluka parah. Aku dan keluargaku pun tidak mengalami luka sama sekali. Hanya kepalaku saja yang masih terasa nyeri.

"Sepertinya korban itu seusia dengan anak kita, Bu," ujar Ayah kepada Ibu. Ayah mendekap kepalaku ke dadanya. Aku bisa merasakan irama jantung Ayah yang mirip dengan kecepatan jantungku.

"Menurut keterangan para saksi yang Ayah dengar. pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi dan menyalip kendaraan di depannya sembarangan. Ia juga tidak menggunakan helm. Ayah menambahkan penjelasannya. Aku masih berupaya meredam kengerian, diam seribu bahaan.

Kendaraan yang kami tumpangi mulai melaju lagi. Kondisi jalan sempat macet karena kecelakaan tadi. Semangatku untuk mengisahkan sejarah nasi jamblang raib ditelan kengerian yang baru saja aku saksikan. Ayah dan Ibu sepertinya juga sedang berusaha meredam kengerian yang mereka saksikan.

Sungguh, bayang-bayang peristiwa tadi masih berputar putar dibenakku Teriakan orang-orang, suara benturan. kendaraan yang ringsek, kengerian orang-orang di jalan. Ya Tuhan, aku sungguh tidak bisa membayangkan jika korban itu aku, ayahku, ibuku, atau teman dekatku. Tiba-tiba pikiranku dilintasi wajah orang-orang terdekatku. Segalanya terjadi begitu cepat.

Aku teringat sikap bodohku beberapa bulan yang lalu sant aku tergila-gila ingin mengendarai motor ke sekolah karena melihat kawan-kawanku yang leluasa mengendari motor ke sekolah. Betapa Ayah dan Ibu telah memutuskan hal yang benar. Betapa memalukannya sikapku kepada mereka. Aku sadar saat itu Ayah dan Ibu pasti terganggu dengan rengekanku yang kurang logis itu.

"Ayah, Ibu, terima kasih sudah tidak mengizinkan Hamid mengendarai motor ke sekolah. Maafkan juga Hamid yang pernah merengek dan bersikap tidak sopan kepada Ayah dan Ibu hanya karena tidak diizinkan mengendarai motor ke sekolah." Rasanya lega sekali saat aku sadar kalimat itu sudah keluar dari lisanku.

"Tidak apa-apa. Hamid. Ayah bangga kamu bisa mengambil pelajaran dari kejadian tadi. Itulah yang sangat Ayah khawatirkan terjadi padamu," ucap Ayah menanggapi permintaan maafku dan mengungkapkan kebanggaannya atas keberanianku mengakui kebodohanku.

"Bukan hanya karena itu, tapi kita juga harus berusaha menjadi warga negara yang haik dengan mematuhi poraturan yang telah ditetapkan demi kebaikan bersama. Ada saatnya nanti. Ayah dan Ibu akan mengizinkanmu mengendarai motor, saat Hamid sudah bisa menjalani seluruh prosedur untuk mendapatkan surat izin mengemudi dari pihak yang berwenang," ujar Ibu menambahkan. Ayah menganggukkan kepala membenarkan tanggapan Ibu. Aku tersenyum ke arah Ibu untuk memberikan isyarat persetujuanku.

"Ibu benar, bukan hanya orang yang melanggar peraturan dan tidak berhati-hati yang akan celaka, tapi orang lain bisa jadi terkena dampak kelalaian kita," aku menanggapi ucapan Ibu. Ibu lalu mendekap pundakku dengan erat sambil memandang ke luar jendela.

Langit mulai memerah indah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bila kecelakaan tadi kualami sendiri atau menimpa orang-orang yang aku cintai. Tiba-tiba hatiku dihiasi rasa bangga karena memiliki Ayah dan Ibu yang tegas dan bijaksana.

Setelah sampai di terminal, kami berpindah kendaraan dari angkutan kota ke bus yang menuju Kota Bekasi. Selama di bus kami lebih banyak diam dan beristirahat.

Tak terasa kami telah sampai di tengah suasana Kota Bekasi yang sesak dan berdebu. Senja di jalan raya Kota Bekasi betul-betul menggambarkan kelelahan penghuni kota yang mengadu nasib di kota ini. Seperti mereka yang mengantre menuntaskan rindu pada suasana rumah, kami juga sudah tidak sabar untuk segera merebahkan tubuh kami, meregangkan seluruh persendian yang terduduk seharian di dalam kendaraan.

Penukilan:
Abadan, Fathiah Islam. (2018). Jalan Panjang Meraih Cita. Kemendikbud: Jakarta.

Posting Komentar untuk "Sejarah Kerupuk Melarat Cirebon"