Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tokoh Menokoh

Tokoh Menokoh

Oleh: Syakier Anwar

Selain gosip, hal terlarang yang paling diminati, jamak dilakukan, tak kenal derajat atau wawasan keilmuan, dan tentu saja acap kali jadi pelarian adalah tipu-tipu. Setiap kali dilakukan ada saja pembenaran dan dalam banyak kesempatan malah mengundang kebohongan-kebohongan lain, akhirnya bagi yang sudah ketagihan, kebohongan sudah bukan lagi digunakan sebagai jalan keluar semata. Butuh atau tidak, yang penting kibul. Dan kejujuran pun sudah tak kentara lagi bedanya pada lidah dan hati. Zaman berubah, cara menokoh pun berevolusi dan makin canggih dan tentunya makin banyak mudaratnya. 

Sementara orang bahkan melabeli zaman kiwari - paling tenar sejak Brexit di Britania Raya - dengan nama post-truth era, zaman setelah-kebenaran yang mewadahi kebohongan menyamar menjadi kebenaran. Terserah saja, sih, mau menariknya ke zaman lampau sampai kapan, tapi sejatinya kebohongan dijadikan alat propaganda dan lainya bukan hal baru. Penyebaran, cara, dan dampaknya saja yang berbeda.

        Agama tentu saja mengajak kepada sikap jujur dan menjauhi kebohongan. Dalam Islam ada ayat dan tak terhitung hadis dari Baginda Nabi yang berbicara tentang itu semua. Tenang, tulisan ini tidak akan menukil semua isi al-Targhib wa al-Tarhib-nya al-Mundziri tentang jujur dan berbohong yang minta ampun banyaknya itu. Lagian kita semua sudah tahu banyak hadis dan bahkan yang bukan hadis pun tahu meski dalam laku sehari-hari masih saja berusaha keras agar tidak menokoh orang. 

Tulisan ini juga tak hendak menjabarkan sebab atau motif orang berbohong, karena tentunya motif untuk berbohong banyak sekali. Mulai dari melindungi diri, harkat, harta sampai hanya sekadar menghindari suasana canggung. Imam Ghazali juga sudah panjang lebar mensyarah tentang sifat tak baik ini dalam bagian muhlikat dari al-Ihya’-nya. Silakan handai tolan tengok, niscaya banyak sekali faedahnya, minimal makin banyak alasan untuk menghindari berbohong. Tulisan ini hanya sebagai pengingat bagi hamba sendiri agar lebih lihai menjaga organ tak bertulang itu dan jari tangan dari menokoh dan mengibul dalam berbagai macam ragamnya.

      Dalam tinjauan Fikih, tipu-tipu ini banyak hukumnya. Memang hukum asal berbohong adalah haram semata seperti yang dapat dipahami banyak dalil syarak. Namun, para fukaha menyimpulkan beberapa pengecualian. Adakalanya tipu-tipu bisa jadi sangat haram alias dosa besar apabila kebohongan terjadi atas nama Baginda Nabi. Berbohong bisa jadi wajib karena alasan melindungi nyawa atau harta dari kezaliman. 

Dalam beberapa kondisi hukumnya juga bisa berubah jadi mubah seperti tipu-tipu yang terjadi dalam peperangan, demi mendamaikan dua pihak yang bertikai, bahkan hanya untuk menjaga agar hati istri tidak terluka. Yang terakhir tidak bisa diamalkan oleh kawan-kawan jomblo alias tuna-asmara. Haha... Tapi kemubahan itu dengan syarat tidak ada jalan lain selain berkibul, yaa. Nah, fukaha juga tidak membatasi keharaman berbohong pada kebohongan yang terjadi dengan lisan, namun semua bentuk kebohongan baik verbal atau nonverbal hukum asalnya sama saja.

        Handai tolan, pandemi belum benar-benar berakhir. Meski banyak aktivitas sudah kembali berjalan sebagaimana biasanya, tapi banyak kebiasaan baru dan kebiasaan lama yang berubah. Pencegahan masih dibutuhkan hingga waktu yang belum tentu. Vaksinasi sebagai salah satu jalan meredam virus ini masih juga belum mencapai target di banyak negara. Salah satu sebabnya tak lain adalah penolakan sebagian orang untuk menerima suntikan vaksin. Terserah apa pasalnya, mau itu karena meyakini teori konspirasi, tak percaya dengan realita, atau hanya takut dengan suntikan. 

        Yang jelas kita mendapati banyak pihak yang menolak untuk menerima vaksin wabah ini. Dalam pada itu, banyak ruang gerak masyarakat dibatasi dengan syarat memiliki sertifikat vaksin, utamanya perjalanan jauh menggunakan moda transportasi udara. Keadaan ini tentunya tidak setuju dengan pihak yang anti vaksin. Pilihannya hanya mau divaksin atau tidak melakukan aktivitas yang membutuhkan sertifikat vaksin. 

Nah, keadaan ini pada gilirannya mendorong banyak orang yang menolak vaksin untuk memanipulasi data dengan cara membikin surat bukti vaksin aspal, asli palsu. Tak setuju atau tak mau divaksin, ya sudah, nikmati hidup dengan tidak menyebar kebohongan.

        Oh, tentu tidak sesempit itu pilihannya, Tuan dan Nyonya. Sertifikat palsu adalah pilihan ketiga dan nampak menggiurkan. Yang bikin pemalsuan dapat cuan dan yang dapat sertifikat bisa cincai pergi kemana-mana. Manipulasi data vaksin ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, pekerja di instansi kesehatan juga tak tahan menolak cuan yang sungguh sangat menggoda. Yang jadi penikmat sertifikat abal-abal ini juga bukan cuma masyarakat umum, namun intelektual dan agamawan juga banyak yang lebih memilih mengeluarkan uang sekian rupiah ketimbang menerima suntikan yang gratis. Sebentara agamawan? Maksudnya ahli ilmu agama? Iya, tak perlu kaget. Bahkan ada tokoh agama yang jadi pengulak bagi umatnya yang mau menokoh demi tercapai tujuan. 

        Pemalsuan data, apa saja itu termasuk data kesehatan yang dalam hal ini bukti sudah mendapat vaksin, adalah kebohongan. Lembaga Fatwa Mesir bulan lalu mengeluarkan fatwa tentang manipulasi sertifikat vaksin ini. Kesimpulannya dapat ditebak, hukumnya haram. Berbohong dengan alasan yang tidak diterima syarak seperti yang disebut di atas hukumnya jelas, haram. 

Dalam hal ini, keharamannya tak bisa ditawar karena bukan saja karena manipulasi data, tapi juga karena dalam tindakan pemalsuan sertifikat vaksin terdapat banyak mudarat dan mafsadah. Dosanya sudah barang tentu dibagi dua; buat pemalsu dan pemegang sertifikat palsu. Yang bikin heran tentunya adalah yang menokoh dan menyeru umat untuk menokoh adalah tokoh agama yang tahu hukum menokoh. Lebih keji dari itu adalah tokoh agama yang memungut cuan dari menokoh. Salam.

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Tokoh Menokoh"