Asy'ary dalam Kacamata Orientalis
Oleh Muhammad Zulfa
Terkenalnya mazhab Asyairah membuat banyak
pengkaji ingin berkenalan langsung dengan
pemeran utama dalam Madrasah ini. Tidak lain, dialah yang akrab disapa
dengan sebutan Imam Asy’ari. Karakteristik kalangan para orientalis ialah jika
ingin menelaah dan menyelidiki suatu masalah, orisinalitas sesuatu itu harus
diselidiki sampai ke asalnya.
Wuh, begitulah mereka. Ketika kegerahan mereka
untuk menyelidiki mazhab Asy'ari, keingintahuan mereka tentang Imam Asy'ari
sendiri pun melonjak. Hingga banyak dari mereka (Orientalis) yang menggali
turast peninggalan Imam Asy’ari.
Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin kizbi
Muftara menuturkan bahwa “Imam Asy’ari telah menulis hampir 200 kitab yang
berkenaan dengan tema tauhid. Sayangnya, dari banyaknya buku Asy'ari, hanya
lima kitab saja yang selamat dari lahapan api yang menyelimuti perpustakaan
Baghdad pada saat penyerangan bangsa Mongol.
Lima buku tersebut adalah :
- Risalah Iman.
- Kitab Al-Ibanah.
- Risalah Istihsan.
- Risalah Ila Ahli Sagri.
- Kitab Maqalah Islamiyah.
Para pengkaji menelaah satu persatu
peninggalan Sang Imam dengan spirit untuk mengenal lebih jauh fikrah Imam.
Ternyata, Mereka malah menemukan suatu yang berbeda antara yang disampaikan
oleh sang Imam dan para pengikutnya.
Jika diperhatikan dengan seksama mulai dari
buku pertama Imam Asy'ari hingga yang kelima, tentu tidak akan ditemukan di
dalamnya sosok Asy'ari yang terlukis indah di dalam buku murid dan pengikutnya,
seperti di dalam kitab Syarah Aqaid Nasafi, Al’iqtisad fil I’tiqad, Al-Irsyad
dan masih banyak kitab yang lain.
Oleh sebab itu, beberapa peniliti barat
menyimpulkan bahwa Asy'ari yang selama ini kita kenal belum tepat kebenarannya
dan mereka bahkan berkesimpulan bahwa Asya'irah berbeda dengan Asy'ari.
Lalu, benarkah begitu? Apakah Asy'ari benar-benar
seperti yang digambarkan oleh Orientalis? atau mungkin saja mereka yang salah
paham!!
Ibnu 'Asakir dalam Kitab Tabyin Kazibil
Muftara, sama sekali tidak menyinggung empat kitab pertama sebagai rujukan
pengenalan Asy'ari. Begitu juga Ibnu Mualim dalam Najmul Muhtadi. Hal yang sama
juga dilakukan oleh Ibnu Furaq dalam Mujarad Maqalah.
Hal ini membuktikan, bahwasanya ada buku lain
yang dijadikan sebagai rujukan oleh murid dan pengikutnya dalam ta’arufan
(mengenal) mazhab ini. Salah satunya ialah kitab Al-Luma' yang kala itu masih
makhtut (manuskrip). Kitab ini kala itu masih makhtut, baru kemarin diterbitkan
oleh Dar Hukama Publishine dan menjadi buku paling banyak dicari di festival
kitab Mesir.
Menurut Daniel Gimaret, lima sumber tersebut
tidak bisa memperkenalkan fikrah Asy’ari yang sebenarnya seperti yang selama
ini diketahui melalui buku pengikutnya. Begitu kutipan Syaikh Ahmad Thayyib
dalam bukunya Nazariyat fi Fikrah Imam Asy’ari.
Dari empat buku itu yang mendapat perhatian
lebih adalah Al-Ibanah. Kitab ini menurut kebanyakan orientalis, seperti Duncan
Black Mcdonald (W 1943) dan Arthur Stanley Tritton (W 1973), sebagai kitab
rujukan utama untuk mengenal Imam Asy’ari. Berdasarkan kitab ini, mereka juga
berkesimpulan bahwa Asy’ari tidak ada bedanya dengan kaum tekstual kala itu,
seperti Hanabilah. Kesimpulan prematur ini jelas salah.
Mereka hanya merujuk kepada empat kitab itu,
khususnya kita Al-Ibanah. Seandainya mereka merujuk pada kitab Al-Luma',
sungguh mereka akan mengubah pandangannya terhadap Imam Asy'ari. Begitulah ujar
Hammaduh Garabah dalam bukunya Abu Hasan Asy’ari.
Bahkan, kesalahpahaman ini juga pernah dialami
oleh Syekh Hammaduh sendiri saat mula-mula menyelidiki Turast Asy’ari. Beliau
juga terpengaruh dengan sebagian "masyaikh" yang terpengaruh dengan
hasil penelitian orientalis saat itu.
Lebih mantap lagi, jika mereka membaca kitab
Luma' dan dibarengi dengan merujuk pada kitabnya Ibnu Furaq, Mujarad Maqalah
Abu Hasan Asy’ari (kitab ini hanya kumpulan artikel yang ditulis kemudian dikumpulkan
oleh Ibnu Furaq). Sungguh mereka akan menemukan persamaan penuh dengan apa yang
telah ditulis oleh pengikutnya, seperti Al Alamah Sa’ad dalam Syarah Aqaid
Nasafi dan Syarah Mawaqif.
karena
di awal kitab Mujarad Maqalah kita sudah menemukan pembahasan tentang
"umurul ammah" (epistomolgy) maupun tentang "tabi’iyah"
atau (cosmology). Hal ini (memulai dengan Umurul ammah dan tabi'ah) sama dengan
apa yang dilakukan oleh Ar-razi, Sa’ad, begitu juga Sayid Jurjani.
Dan perlu diingat kembali, bahwa Ibnu Furaq
adalah generasi kedua dari murid Imam Asy’ari. Lebih jelasnya, Ibnu furaq
adalah murid dari Abu Hasan Al-bahily dan Al-bahily adalah murid langsung dari
Imam Asy’ari.
Selain
empat kitabnya Imam Asy'ari, yang menjadi sumber rujukan lain bagi
Orientalis adalah karya Ibnu Taimiyyah dan murid kesayangnya Ibnu Qayyim
Al-jauzi. Dari sumber inilah dimulai kesalahpahaman Orientalis terhadap
Asy'ari, demikian kata Ahmad Muhammad Subhi. kesalahpahaman ini pun telah
merambak dalam dunia pemikiran Islam. Bahkan, tak jarang juga kita menemukan
sarjana muslim yang menelan mentah-mentah hasil penelitian kaum orientalis.
Akhirnya, kita mengetahui "gagal
paham" terhadap Asy'ari bukan hanya
dari satu arah saja, bahkan dari dua arah yang berbeda sekaligus, yakni
gagal pahamnya ustadz-ustazd dari mazhab sebelah dan mereka-mereka yang
memprofilkan dirinya sebagai peneliti atau pemikir. Rujukan utama dua kaum ini
sama, hanya saja kesimpulan akhirnya yang berbeda.
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Asy'ary dalam Kacamata Orientalis"