Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Child-free Benar-benar Free dalam Syariat?

Benarkah Child-free Benar-benar Free Dalam Syariat?

Syahdan, bagi sementara masyarakat Eropa, sikap tidak melahirkan anak untuk kemudian dididik adalah sebuah kelaziman dan adat yang disetujui akal. Bagi mereka, memiliki anak sendiri tidaklah begitu penting. Sama tidak pentingnya dengan mengikat hubungan pasangan. Perkawinan secara sah menurut agama tidak begitu perlu dilakukan. Kalau cocok, gaslah. Kalau hamil? Tunggu dulu. Kalau kehadiran anak dapat merusak hubungan itu dari berbagai segi, ekonomi, finansial hingga merenggut kebebasan orang tua, aborsi adalah pilihannya. Jika tidak, mereka punya dua pilihan; merawat dan mendidik sendiri; atau dititip ke panti asuhan.

Kelaziman ini sebenarnya tidaklah begitu mengherankan ketika kita menyadari bahwa tolak ukur yang mereka pakai dalam menjalani hidup ialah tolak ukur duniawi semata. Artinya, setiap tindakan hanya bermula dari tinjauan kehidupan dunialah kehidupan satu-satunya, dan berakhir pada peraba-rabaan manfaat duniawi semata. Dalam soal child-free, jika anak tidak menguntungkan di dunia maka tidak ada alasan membuahi dan mendidiknya.

Sementara itu, kini gerakan dan kebiasaan itu mulai merambah dalam membran pemikiran kaum muslim. Bukan pertama kali, memang. Cukup banyak ide, pengaruh dan adat keeropaan berhasil menjamahi dan menguasai pikiran mayoritas umat muslim. Apakah ini buruk? Tidak tentu. Sepanjang hal itu searah dengan syariat, tentu kaum muslim tidak punya alasan menolaknya.

Sakitnya, ketika budaya eropah itu dipaksa searah dengan nafas syariat. Dari sini, syariat diupayakan direkonstruksi dan 'diperkosa’ hanya demi budaya itu diamini syariat dan akal mereka yang katanya 'sehat'. Child-free dalam hal ini, telah berhasil memengaruhi sementara kaum muslim untuk memaklumi dan menormalisasi budaya itu di sini, dalam tubuh Islam.

Child-free, dalam pergulatannya, didakwa bukanlah sebuah tren atau gerakan. Melainkan hanya keputusan pasangan yang tidak dipaksa oleh pihak manapun. Keputusan yang berlandaskan pertimbangan yang dianggap baik oleh pasangan. Artinya, setiap pasangan dipersilakan untuk memilih child-free atau tidak.

Kita aminkan saja dakwaan demikian. Lantas, apa jadinya kalau keputusan pasangan ini disuarakan lewat media-media secara frontal, bagai bikin dakwah ‘child-free-iyah’, yang sedikit banyak mengajak penyimak untuk memaklumi dan bahkan mengikutnya? Apa jadinya keputusan pasangan yang terus dilakukan ‘berjamaah’ secara serampangan kalau bukan menjadi sebuah tren? Bukankah tren terangkai dari kesinambungan satu kejadian?

Dalam pada itu, memberlakukan tren atau adat yang rusak sebagai hujah kebolehan memilih Child-free itu tidaklah dibenarkan dalam syariat. Penggunaan budaya sebagai dasar hukum tidak selalu diamini oleh syariat. Di sana, ada budaya buruk dan baik. Hanya budaya baik yang diakomodasi oleh syariat. Itu pun, menurut sementara ahli, hanya budaya pada masa Rasulullah, yang tak lain ialah periode penetapan hukum.

Isu ini kian menyala ketika sebagian orang membawa nama perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seolah, apa yang telah berlaku sejak dulu kala, di bawah naungan syariat, Islam tidak begitu peduli dengan isu-isu perempuan. Seakan Islam melemahkan kehendak perempuan dalam sekian tindak tanduknya, Islam tidak mampu merangkul hak-hak perempuan, dan dugaan lain kealpaan peduli syariat pada perempuan.

Menjembatani isu ini dengan perempuan dengan mengatakan bahwa “kenapa keputusan perempuan untuk tidak hamil menjadi masalah?”, “padahal proses beranak menunut banyak peran perempuan. Bukankah ini saatnya mendengar suara perempuan?”, dan semacamnya makin memberi kesan bahwa Islam, dalam perihal membuat keturunan, kurang—untuk jangan berkata tidak—ramah terhadap perempuan. Seolah Islam mewajibkan secara mutlak untuk menciptakan keturunan.

Suara-suara macam ini memang dapat didobrak oleh penjelasan ahli agama, tetapi, seperti biasa, suara itu terus didengungkan oleh orang-orang yang “terlalu” memperjuangkan hak perempuan melewati batas-batas syariat.

Bagaimanapun, kita bisa mengatakan nyaris tidak ada yang salah dengan Child-free dalam pandangan syariat. Artinya, dalam beberapa kasus, syariat membolehkan Child-free, misalnya keadaan darurat medis. Yakni ketika pasangan tidak mungkin, menurut medis, untuk membuahi anak. Bahkan, jika pasangan memaksa membuat keturunan dalam kondisi itu maka hukumnya hanya haram.

Begitulah, Child-free baru menjadi perkara ketika ia menormalisasi semua kehendak pasangan. Kehendak pasangan yang didasari atas pertimbangan yang lemah, seperti keadaan finansial, faktor lingkungan, isu fisik keturunan, perempuan berhak mengatakan “tidak” dalam membuat keturunan, dan semisalnya  adalah sederet pertimbangan yang tidak dianggap (ghair mu'tabarah) dalam syariat. Child-free menjadi masalah ketika ia dibenturkan dengan syariat.

Sudah terlalu panjang saya ngomong, mari kita ambil beberapa simpul biar engga unfaedah waktu yang terbuang membaca ini. Pertama, Child-free merupakan kehendak pasangan untuk tidak mempunyai anak yang didasari atas pertimbangan-pertimbangan, yang sebagiannya tidak dianggap oleh syariat. Kedua, Child-free sedikit-banyak berhasil dijadikan oleh orang yang tidak paham agama sebagai alat merusak citra Islam. Dan, ketiga, syariat tidak menolak Child-free secara mutlak. Ada kondisi di mana tidak memiliki anak lebih baik bagi pasangan.

Sedangkan saya, saya enggan memilih child-free berhubung masih dalam fase wife-free. Bagaimana dengan sodara?

Ditulis oleh Zuhdi Anwar

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Benarkah Child-free Benar-benar Free dalam Syariat?"