Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Dalam Fikih Islami

Demokrasi Dalam Fikih Islami

(Bukan berhala yang harus dihancurkan, bukan juga tuhan yang harus disembah)

Biaya demokrasi di seluruh dunia memang mahal. Makanya para pemilik modal sangat berpengaruh dalam negara demokrasi, baik dalam proses pemilihan pemimpin atau kebijakan pemimpin. Tak jarang, jika pemimpin itu populer tetapi punya kepribadian lemah maka ia hanya akan jadi boneka pengusaha.

Tak berbeda jauh dengan lembaga legislatif. Nasibnya sama belaka, beberapa kelemahan yang lahir dari sistem demokrasi dalam wilayah ini ialah menjamurnya jual beli kursi, sehingga menguatkan iklim politik transaksional akan menjamur dalam demokrasi multi-partai dengan pemilihan langsung.

Begitu juga permasalahan jual beli proyek, ini jadi suatu yang enggak bisa dipisahkan dari demokrasi. Soalnya, pemilihan langsung membutuhkan modal yang besar. Jadi gak heran para politisi ingin balik modal, bahkan meraup untung. Dan, posisi sebagai DPR itu menjadi ladang yang sangat basah untuk itu.

Kadang para politisi juga harus bekerjasama dengan para kolongmerat besar. Jika biaya politik sangat besar tentu para taipan ini memberi syarat, yaitu kerjasama dalam jual beli proyek negara atau membuat kebijakan yang memihak kepada mereka. Ya, begitulah politik transaksional. Kadang, ini menjadi rantai yang mengikat politisi sepanjang karir politik mereka. Bahkan di level negara besar, jual beli darah juga terjadi, demi kepentingan perusahaan multi-nasional yang tak jarang merusak negara lain. Tentu di sana masih banyak kelemahan lainnya yang harus segera dipugar dalam sistem demokrasi.

Namun, bukan berarti demokrasi gak ada kelebihannya. Tentu ketika masyarakat dunia memilih demokrasi sebagai cara berpolitik hari ini, ada banyak kelebihannya. Diantaranya, sistem ini lumayan bisa mencegah para penguasa diktator bertahan lama, adanya kontrol pada para pemegang kekuasaan melebihi pada sistem otoriter yang sempat populer sebelum dunia memasuki era demokrasi, terbukanya kesempatan bagi siapapun untuk menjadi pemimpin, tidak ada monopoli keluarga seperti yang ada dalam sistem kerajaan yang seringnya berujung dengan kekuasaan tirani individu tertentu, dan meminimalisir kudeta yang sering terjadi dalam sistem kerajaan, dst.

Begitulah demokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ada dua pilihan bagi kita, memperbaiki sistem demokrasi yang ada, dengan cara mempersempit kelemahan tadi, menjadikannya demokrasi 2.0, entah itu memungkinkan atau tidak. Atau, mencari alternatif lain di luar demokrasi, yaitu sistem politik yang lebih efektif daripada demokrasi, post-demokrasi istilahnya. Nah, ini tugas kemanusiaan yang harus dipikirkan bersama.

Lantas, bagaimana Fikih Islam dalam melihat ini?

Fikih islamy sangat lentur dalam masalah sistem politik. Jika memang demokrasi adalah solusi terbaik saat ini, maka tidak masalah menjalankan demokrasi dengan beberapa rambu-rambu yang ditetapkan sebagai mabadi(asas) dan muntalaqat dalam fikih siyasah. Akan tetapi, islam juga engga membela mati-matian sistem ini, seolah ini adalah "akhir" dari peradaban manusia, dimana tidak mungkin ada solusi lebih baik dari itu. Kenapa? Karena islam melihat sistem politik itu semua sebagai hasil kreativitas manusia, yang pasti ada kekurangan dan kelebihan.

Begitu juga dengan sistem lain seperti kerajaan, kekaisaran, ke-emir-an yang digunakan di masa lalu dan sampai sekarang di beberapa negara, itu solusi terbaik saat itu, dan sangat mungkin berkembang jika dibutuhkan. Fikih islamy begitu fleksibel dalam mengatur masalah sistem politik, dimana memberi kebebasan bagi manusia untuk menerapkan apa yang dianggap cocok dan memungkinkan oleh manusia, sesuai keadaan zaman dan tempat mereka berpolitik. Islam hanya memberi beberapa dhawabit dan rambu-rambu sesuai dengan mabadi dan muntalaqat utama dalam politik.

Karena adanya kelonggaran dan keterbukaan ini, maka fikih siyasah cocok diterapkan di mana saja dan bisa mengikuti perkembangan zaman. Bayangkan jika dalam fikih islamy hanya membolehkan satu model sistem saja dalam politik, mungkin sejak awal fikih siyasah udah gak bisa diterapkan, karena secara natural politik itu dinamis, ketika dipenjara itu melawan kealamian politik itu sendiri. Gak nash sharih untuk sistem tertentu dalam fikih islamy, bahkan, fakta bahwa setiap khulafaurrasyidin memakai cara berbeda dalam mengatur sistem politik jadi bukti, betapa lenturnya fikih islamy dalam bidang ini.

Di masa depan, jika manusia menemukan formula baru yang lebih efektif dalam bernegara dan berpolitik, di luar nation state dan sistem demokrasi yang berkembang pesat dan dipakai dimana-mana hari ini, maka islam juga akan terbuka untuk menerimanya. Karena islam membebaskan kita melihat apa yang cocok bagi kita dalam masalah ini. Politik berkarakter lentur, maka islam juga memberi hukum yang lentur sesuai dengan tabiatnya, yang tentunya dengan memberi beberapa rambu-rambu tetap sebagai asas dan muntalaqat fikih siyasah, agar sistem itu gak hilang dari tujuan awalnya, yaitu menjaga stabilitas serta menjaga agar semua orang mendapatkan haknya dan  melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.

Maka dari itu, islam hanya melihat demokrasi sebagai salah satu solusi yang ditemukan manusia yang sesuai untuk beberapa waktu dan tempat, dan terkadang bisa juga jadi tidak cocok digunakan di waktu lain atau di tempat yang lain. Jadi, demokrasi bagi islam, ya, bukan berhala yang harus dihancurkan, bukan juga Tuhan yang harus disembah, tapi dia hanya hasil ijtihad dan kreatifitas yang dilakukan manusia dalam mencari sistem terbaik dalam bernegara yang sesuai dengan keadaan hari ini.

Jadi demokrasi dalam fikih islamy itu hanya hasil buah pikir manusia atau budaya, yang suatu saat bisa berubah dan dikembangkan. Atau bahkan bisa ditinggalkan, jika suatu saat ditemukan sistem dan solusi yang lebih baik dari demokrasi, dimana sistem baru itu dipandang lebih mampu menjaga asas-asas yang menjadi dasar nilai keislaman dalam bernegara dan berpolitik, diantara mabadi(dasar) islam dalam politik adalah seperti menciptakan keadilan, keseimbangan, penjagaan hak, kestabilan, saqf hakimiyah, penjagaan nilai, dst. Lebih lanjutnya lagi bisa dilihat dalam kitab-kitab fikih terutama bab siyasah.

Jadi, sebenarnya tidak sulit bagi muslim untuk berfikir dalam mencari sistem baru yang lebih bagus dari demokrasi yang ada saat ini. Itu juga yang sedang difikirkan oleh pemikir besar dunia saat ini, sistem “Ma ba’da demokratiyah” atau post-demokrasi sekarang sudah mulai dipikirkan di dunia akademis di barat. Seharusnya kita jangan cuma jadi pengikut pentaklid dalam melahirkan sistem baru ini, jangan mengulangi kesalahan yang sama, seperti yang terjadi sekarang dalam sistem demokrasi, di mana hampir semua sistemnya tidak melibatkan kita dalam pembentukannya.

Seharusnya, dalam sistem yang baru kita bisa menjadi salah satu penggagas dan penyumbang ide dalam melahirkan sistem baru. Sehingga nantinya sistem baru itu tidak bertentangan dan berseberangan langsung dengan nilai-nilai yang ada pada kita. Sebagaimana yang sering terjadi pada sistem demokrasi hari ini, dimana nyaris gak ada negara timur (gak Cuma islam) yang dilibatkan dalam pembentukannya, dimana negara timur yang ingin menerapkan sistem demokrasi selalu merasa terjadi westernisasi peradaban dalam negara mereka, karena beberapa nilai(tidak semua) dalam demokrasi dianggap terlalu  berseberangan dengan nilai yang mereka anut selama ribuan tahun.

Lalu, sistem apa itu? Wallahualam. Itu tugas kita yang memikirkannya. Engga Cuma sebagai muslim, tapi juga sebagai manusia yang melahirkan peradaban, kita tidak harus bersaing dengan negara lain dalam membangun sistem baru itu, umat islam harus bermitra dengan yang lain dalam mencari solusi terbaik untuk umat manusia, dan ini butuh proses panjang, bisa jadi generasi kita gak pernah melihatnya. Tapi, begitulah peradaban. Harusnya memang tidak pernah berhenti untuk berkembang. Jika kita ingin maju tentunya. Jadi apa itu mabadi dan muntalaqat dalam fiqh siyasah? Ada deh, kapan-kapan dibahas, ya. Pantengin terus Serambi Salaf biar engga ketinggalan.

Ditulis oleh Fauzan Inzaghi

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Demokrasi Dalam Fikih Islami"