Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Salah Kaprah Maslahah

Salah Kaprah Maslahah

Oleh Syakier Anwar

Ada banyak fatwa-fatwa syadz a.k.a aneh yang muncul khususnya dari ulama dan sarjana kontemporer. Motifnya macam-macam, seringnya karena yang berfatwa bukan ahlinya. Ada yang karena menyalahi nash yang jelas dari quran atau hadis, bertabrakan dengan ijmak yang qath’iy, mendasari fatwa dengan kias yang sembarangan, tidak sesuai dengan kaidah-kaidah fikih, atau salah kaprah dalam berdalil dengan maslahah. Tak jarang juga ada fatwa pesanan dari kubu-kubu politik. Anda mungkin sudah beberapa kali menjumpai fatwa-fatwa yang bikin terkejut di berbagai media dan buku. Dari sederet sebab-sebab yang disebut barusan, agaknya fatwa aneh dan berlawanan dengan ruh syariat dengan dalih maslahah adalah yang cukup menarik perhatian dan banyak muncul belakangan.

Maslahah sebagai tujuan hukum bukanlah hal yang diperselisihkan lagi. Sudah menjadi konsensus bahwa tujuan syariat islam adalah menihilkan mudarat dan menghadirkan maslahat bagi manusia, dunia dan akhirat. Agar tidak tertukar dengan ilat, ambil contoh kewajiban memakai helm dalam undang-undang. Pengguna sepeda motor mesti memakai helm saat berkendara baik pengemudi atau penumpang demi selamatnya organ paling mulia, yakni kepala, andai saja terjadi kecelakaan. Dalam contoh ini, keharusan memakai helm adalah hukum, berkendara adalah ilat hukum, dan terjaganya kepala adalah maslahah yang didapatkan dari penerepan hukum tersebut. Minuman memabukkan haram dikonsumsi agar akal tidak rusak. Keharaman meminum adalah hukum, memabukkan adalah ilatnya, keselamatan akal pikiran adalah maslahah yang dikandung oleh keharaman minuman tersebut.

Namun, maslahah, secara khusus maslahah mursalah, sebagai salah satu dari dalil-dalil hukum fikih masih diperdebatkan kehujjahannya. Secara garis besar, ada dua kubu ulama dalam menyikapi istidlal dengan maslahah atau biasa dikenal dengan nama istislah. Ada kubu yang menolak menjadikan maslahah sebagai dalil yang terpisah, ada yang menerimanya tapi ada banyak tapinya. Haha.. Yang menolak pun, tidak serta merta menafikan masalahah sebagai instrumen secara keseluruhan. Mereka hanya memperkecil ruang lingkup penggunaan maslahah dalam proses istinbat hukum, yakni hanya menjadikan maslahah sebagai salah satu komponen istihsan atau kias. Begitu juga dengan kelompok yang menjadikan istislah sebagai sebuah dalil hukum, para ulama di kelompok ini menentukan banyak syarat, seperti masalah tersebut tidak bertentangan dengan nash quran dan sunnah, ijmak yang meyakinkan, dan kias yang lebih kuat, hingga maslahah bisa dijadikan landasan hukum. Maka, dalam tinjauan umum, maslahah mengambil peran dalam istidlal kedua kubu, meskipun dalam kadar yang berbeda.

Menarik sekali memang maslahah ini. Mengabaikannya dalam mengistinbat hukum adalah kesalahan fatal, namun berlebihan dalam penggunaannya pun, bisa bikin produk hukum berlawanan dengan syariat. Bagai UUITE, maslahah sebagai instrumen fatwa dan dalil hukum akhir-akhir ini memang kerap ditarik-tarik kemana saja sekehendak pembuat fatwa. Berlebihan yang dimaksud adalah berdalil dengan maslahah sembari memunggungi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan para ulama. Maka, jangan heran dengan munculnya produk hukum seperti bolehnya akad yang mengandung riba, kebolehan mengonsumsi daging sembelihan non-muslim, mengharamkan poligami, kebolehan perkawinan antara muslimah dengan non-muslim, dan fatwa-fatwa lainnya yang dicitrakan berlandas atas maslahah dan keringanan bagi umat.

Selain ranah fatwa, pendekatan maslahan dengan cara yang keliru juga terjadi dalam ruang belajar agama. Belakangan ini banyak pelajar agama yang langsung loncat ke hal ihwal maqasid syar’iyah tanpa pendahuluan Usul Fikih yang memadai. Tanpa ba-bi-bu, pelajar zaman kiwari ini langsung mendalami tentang istihsan, sadd al-zarai’, maslahah dan tema-tema lain yang seharusnya dipelajari sesudah memahami berbagai masalah pokok Usul Fikih dari tingkat sederhana hingga level lanjutan. Mendalami maslahah memang penting, bahkan pemahaman syariat yang utuh baru bisa didapatkan setelah memahami maqasid-nya, tapi ujug-ujug sudah mengkaji Al-Muwafaqat-nya Imam Syatibi atau Maqasid-nya Imam Ibnu ‘Asyur padahal Waraqat saja belum tuntas dipelajari adalah salah kaprah. Model belajar seperti ini mudah dijumpai pada para pelajar yang tidak memiliki metode yang jelas dalam mengkaji ilmu syariat. Di samping sebab-sebab yang disebut di muka, cara belajar dan mendalami maslahah tanpa mengikuti jejak para ulama seperti ini, pada gilirannya hanya menghasilkan para pemuka agama dengan fatwa-fatwa yang bertolak belakang dengan syariat.

Berbeda dengan cara belajar kebanyakan santri-santri dayah salafiyah dan lembaga pendidikan tradisional lainya yang memiliki manhaj yang jelas dan teruji. Agar bisa mengaji kitab setingkat Ghayat al-Wushul saja para santri membutuhkan  berpuluh purnama untuk mempelajari kitab-kitab Usul Fikih sederhana seperti Waraqat dengan berbagai syarah dan hasyiahnya dan Luma’-nya Syeikh Abi Ishaq. Panjang proses yang harus dilalui para santri sebelum berkenalan dengan maslahah dan kawan-kawannya lewat kitab-kitab usul fikih populer seperti Jam’u al-Jawami’, Mustashfa-nya Imam Ghazali, dan kitab-kitab Usul Fikih tingkat atas lain, baik turats maupun kontemporer.

Kadang saya suka curiga, bahwa mereka yang berani untuk langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunah atau salah kaprah dalam bermaslahah hanya karena tidak sanggup memahami hasil ijtihad para ulama dari kitab-kitab turats yang masyaallah rumitnya itu. Buruk muka, cermin dibelah. Tak mampu mencerna ibarat para ulama, ijtihad ulang saja lah. Salam.

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Salah Kaprah Maslahah"