Obral Dalil
Oleh Syakier Anwar
Jika Anda, handai tolan, pernah mengaji di
pesantren salafiyah atau belajar agama dengan metode ulama terdahulu, Anda
pasti akan diajarkan matan yang ringkas dulu sebelum secara perlahan – kalau
enggan menyebut lamban – naik ke syarahan terhadap matan-matan tersebut dan
berakhir dengan mengkaji kitab-kitab babon dalam disiplin yang diminati. Anda
tidak akan diberatkan untuk memahami argumen-argumen haibat sebelum melewati
tahap memahami pokok masalah di setiap ilmu yang Anda pelajari. Belajar fikih
syafii, misalnya, mula-mula Anda akan belajar dari kitab ringkas seperti
safinat al-naja dan at-taqriib yang hanya menyebutkan hukum-hukum fikih secara
singkat dan padat, tidak ada dalil, ilat, apalagi tafri’ atau pengembangan
masalah. Kemudian naik ke syarahannya seperti fath al-qarib yang fokusnya hanya
memperjelas saja matan taqrib, jarang didapati pendapat lain atau dalil dan
ilat hukum.
Selanjutnya belajar fath al-muin, di kitab ini
masalah-masalah akan dikembangkan, dalil dan ilat sudah sering dijabarkan,
pendapat-pendapat berbeda diikutsertakan, bahkan sejarah singkat suatu masalah
juga disebutkan. Selesai dengan kitab barusan, baru lah akhirnya Anda
berkesempatan mengaji kitab-kitab seperti tahrir atau fath al-wahhab-nya
Syaikhul Islam al-Ansari, syarah-syarah Minhaj-nya Imam Nawawi, dan kitab-kitab
tingkat advance lainnya yang sudah banyak menerangkan pengembangan masalah
dengan cukup luas dan mendalam disertai tarjih antara pendapat-pendapat berbeda
yang disodorkan dengan dalil-dalil canggih dan ilat hukum pada hampir tiap
masalah. Pelajar fikih di tahap akhir ini, pun, meski sudah dijejali dalil
quran dan sunah masih belum jadi apa-apa selain mukalid yang belum mampu
mengekstrak sendiri hukum-hukum dari dua sumber utama itu.
Bila tidak mempelajari fikih secara serius
seperti metode melelahkan di atas, maka level Anda adalah awam semata.
Pasalnya, berurusan dengan dalil itu sulit dan mengonsumsi waktu yang banyak.
Singkat saja, berikut beberapa tahap yang bisa menggambarkan betapa waktu dan
daya akan terkuras untuk bergumul dengan dalil suatu hukum. Pertama, dalam
memahami hukum suatu masalah, tidak bisa cuma dengan satu hadis dari sahih
muslim saja, namun Anda harus mengumpulkan dalil-dalil tentang masalah
bersangkutan, baik ayat maupun hadis dari berbagai sumber. Mengabaikan langkah
ini bisa menghasilkan kesimpulan hukum yang pincang. Bila tidak diiringi rasa
rendah hati, banyak pihak yang akan nampak salah. Tengok saja baru-baru ini,
kembali hangat, bacaan doa iftitah yang jamak dibaca umat islam dalam salat
disalahkan hanya bermodal satu hadis. Kedua, memeriksa validitas setiap dalil,
sahih atau zaif, qath'iyah tsubut atau wurud kah ia atau zanniah. Tahap ini, pun,
panjang sekali prosesnya. Sebab, sahihnya suatu dalil, utamanya hadis, tidak
lantas bisa langsung dijadikan sandaran hukum, zaifnya juga tidak berarti harus
diabaikan sama sekali.
Ketiga, memeriksa segi istidlalnya, qathiy
dalalah atau zanni. Sebab, dalil yang valid dan pasti datangnya dari Baginda
Nabi belum tentu menyatakan hukum secara pasti, masih bisa diperselisihkan
maksudnya. Keempat, memeriksa apakah dalil tersebut telah di-nasakh atau tidak.
Ini yang sering luput dari perhatian para mukalid. Seringnya mereka tidak tahu
bahwa imam mazhab meninggalkan hadis sahih karena dalam ijtihadnya hadis
tersebut telah dianulir hukumnya dengan dalil lain. Kelima, menjamin tidak ada
dalil yang berlawan dan lebih kuat dari dalil yang akan dijadikan landasan hukum
atau mengkompromikan antara dalil-dalil yang secara sekilas nampaknya bertentangan.
Terakhir, dan ini sangat penting dalam konteks
fatwa, adalah memahami realitas. Tanpa pemahaman yang utuh terhadap waqi',
hukum yang Anda simpulkan sangat mungkin lebih banyak mudaratnya ketimbang
manfaat.
Ini semua dengan asumsi sudah menguasai
ilmu-ilmu pembantu seperti usul fikih, nahwu, saraf, wadha', isytiqaq,
balaghah, et cetera. Tanpa ilmu-ilmu logika, gramatika, dan retorika ini,
jangan harap Anda bisa memahami dalil sebagaimana mestinya. Terlebih lagi masih
ada kias yang menjadi dalil alternatif tapi paling sukar paling dan banyak
menghasilkan hukum-hukum furu’iyah. Ribet, kan? Anda tak kan punya kesempatan
untuk berselancar di internet atau scrolling linimasa media sosial. Anda sudah
cukup sibuk dengan kegiatan sehari-hari, agama yang perlu Anda pelajari hanya
sebatas dan cuma pantas di level pertama, biarkan para ulama yang menelaah dan
memahami dalil-dalil agama untuk Anda. Yang Anda butuhkan hanya memahami dan
mengamalkan hukum-hukum yang sudah dirumuskan dan disarikan oleh para fukaha
dari dalil yang berbelit dan bikin penat itu. Tak perlu memaksakan diri dengan
meminta dalil yang tidak Anda ketahui cara memahaminya atau menanyakan ilat
yang kemudian Anda kias-kias sekehendak hati.
Di sisi lain, gelagat awam yang mau langsung
naik kelas ini tidak muncul di ruang hampa. Ada banyak pemicunya, selain seruan
untuk meninggalkan taklid, yang paling mutakhir adalah maraknya dai-dai
mengobral dalil ayat atau hadis di majlis-majlis awam dan dibagikan di berbagai
media informasi daring. Cara penyampaian syariat begini menyalahi manhaj para
salaf salih. Betapa pun alimnya sang dai, mengobral dalil hukum baik ayat atau
hadis kepada awam itu tidak tepat. Pertama, karena dalilnya orang awam –
sebagaimana ketetapan para ulama – adalah nash atau keterangan mufti atau para
fukaha ahli ijtihad.
Kedua, membeberkan dalil quran atau sunah
kepada awam itu nirfaedah. Sebab dibutuhkan ilmu-ilmu pendukung dan kecakapan
tingkat tinggi untuk bisa memahami satu satu ayat saja. Dalil-dalil canggih itu
bukan urusan orang awam dan “ngga boleh sama sekali bagi mereka beristinbat
langsung” kata Imam Syatibi. Benar bahwa hukum agama harus ada dalilnya, tapi
beda kelas, beda pula dalil, dong. Untuk para fukaha Quran, sunah, ijmak, dan
kias, untuk awam hasil ijtihad mereka.
Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan
tak sampai, ingin hati memahami agama dari hadis langsung, apa dikata rupanya
tak piawai. Salam.
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Obral Dalil "