Mufti Zadah, Gurunya Al-'alamah Kalanbawi
Oleh Maulizal Akmal
Di tulisan sebelumnya, kita telah mengenal
sosok ulama Islam yang jarang disorot,
Al alamah Syekh Kalanbawi, ulama yang pakar dalam ilmu Akliyah dan Nakliyah dalam
Islam, bahkan beliau juga pakar dalam ilmu Riyadhi dan Tabi'iy.
Sosok hebat seperti Kalanbawi tentu tak
mungkin lahir dengan sendirinya. Untuk membangun gedung kokoh setinggi Burj
Khalifa tentu dibutuhkan Arsitek handal dan pekerja-pekerja profesional, sebuah
karya tulis hebat juga akan lahir dari penulis hebat, begitu juga, seorang
murid yang hebat juga lahir dari guru yang hebat, memang tak dapat dipungkiri
lahirnya bakat seorang murid sangat erat kaitannya dengan ketrampilan seorang
guru. Suksesnya seorang Syafi'i karena ada Imam Malik dalam kisahnya,
mendunianya nama Al Ghazali tak lepas dari peran Imam Haramain di belakangnya,
Begitu juga dengan sosok Kalanbawi.
Sebagaimana janji kita ditulisan sebelumnya,
tak elok rasanya jika kita mengenal Kalanbawi tanpa mengenal salah satu gurunya
yang sangat berpengaruh terhadap
Kalanbawi dan menjadi pegangannya dalam keilmuan. Ya, beliau adalah Syeh
Muhammad Amin bin Yusuf bin Ismail Al Anthaly atau lebih sering dipanggil
dengan sebutan Mufti Zadah Al Kabir. Beliau lahir pada tahun 1112 H di
Antaliya, sebuah kota di sebelah Barat Turki.
Dari semenjak kecil, Mufti Zadah telah
menyukai belajar, beliau berguru dengan ayahnya yang merupakan murid dari
penghasyiyah kitab Mar'atul Ushul, Abdurazaq Al Anthaky. Beliau juga berguru
kepada Abi Said Muhammad bin Mustafa Al Khadimi murid dari Al alamah Al
qaz'abady wakil Syaikhul Islam saat itu, selain itu beliau juga belajar pada
Abu Muhammad Almusy (beliau mensyarah kitab shahih bukhari dalam 30 jilid).
Mufti Zadah digelari dengan sebutan Khizanatul
Ulum (gudangnya ilmu), karena kekuatan hafalannya yang luar biasa, daqiqnya
pemahamannya, serta luasnya pengetahuannnya. Julukan besar "khizanatul
ulum" sudah cukup menjadi bukti bagaimana alimnya sosok ini. Karena, bukan
main berkelasnya gelar ini, lebih-lebih di masa berkembangnya keilmuan Islam
dan banyak lahirnya alim ulama, seolah-olah julukan ini mengartikan bahwa ia
tahu segala permasalahan ilmu dan seolah-olah ia adalah yang paling alim di
antara ulama-ulama lain.
Dan benar saja, penulis kitab Majalah ahkam,
Al alamah Kabir Jaudah Basya mengatakan "di masa hidup dan setelah
meninggalnya Mufti Zadah tidak ada dalam sejarah bumi Istanbul seorang pun yang
bisa menandingi keilmuannya." Padahal Al alamah Jaudah Basya hidup semasa
dengan ulama sekelas Mufassir Al Alusy (pengarang Ruh Al Ma'ani) atau Muhammad
At Tamimi.
Julukan "Khazainul Ulum" ini, beliau
dapatkan saat mengikuti sebuah seleksi yang diadakan oleh kantor Masyikhah
Islam untuk mencari seseorang yang bisa mengemban tugas yang cukup besar dalam
masalah pendidikan di Turki Ustmani. Begitulah kata Syekh Zahid Kautsari dalam
makalahnya.
Kantor Masyikhah Islamiyah adalah sebuah
tempat berkumpulnya para Ulama yang bertanggung jawab atas hal ihwal hukum
negara dan perihal pendidikan. Kantor ini dipimpin oleh Syekhul Islam dan
wakilnya. Syekhul Islam adalah sebutan untuk Mufti besar negara atau yang
bertanggung jawab dalam memutuskan hal ihwal hukum negara dan membantu Sultan
dalam penetapan undang-undang negara, penyebutan mufti negara dengan gelar
seperti ini dimulai pada masa Sultan Muhammad Al Fatih pada tahun 1451 M.
Sedangkan pendampingnya, wakil Syekhul Islam adalah orang yang bertanggung
jawab terhadap dunia pendidikan dalam negara, yang mengatur madrasah-madrasah, menetapkan
kurikulum dan menyelesaikan tentang perkara keilmuan. Karena begitu besar tugas
yang diemban, sudah tentu yang menduduki dua kursi besar ini bukanlah orang
sembarangan dalam ilmu pengetahuan, lebih-lebih ilmu agama.
Cerita pun dimulai ketika Mufti Zadah muda
yang ketika itu baru menyelesaikan pelajarannya, ingin ikut serta dalam ujian
yang diadakan oleh kantor Masyikhah Islamiyah untuk memilih seseorang dengan
tugas besar dalam masalah pendidikan.
Saat itu, yang menjabat sebagai wakil Syaikhul
Islam adalah Al Alamah kabiir, gurunya para guru, Syeikh Ahmad bin Muhammad Al
qaz'abady, di seluruh seantero Turki Ustmani tidak ada yang tidak mengenal
namanya, apalagi yang tidak mengakui kealimamnya. Bahkan sangking alim dan
seniornya beliau, seakan ulama besar yang hidup semasa dengannya nampak seperti
anak kecil di matanya, begitu juga sebaliknya, kewibawaan dan ilmunya membuat
ulama lain begitu menghormatinya. Ya, karena beliau yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan dalam negara, otomatis beliau sendiri lah yang akan menjadi
penguji seleksi para calon peserta.
Nah, Saat mufti zadah muda berhadapan langsung
dengan Syekh Al qaz'abady untuk mendaftarkan namanya dan mengikuti ujian
bersama ulama lain, sontak beliau berkata "ujian besar ini diselenggarakan
untuk mengemban tugas yang besar, jadi tidak dibuka untuk ulama yang tidak
diakui keilmuannya, apalagi bagi pelajar." Penolakan wakil Syaikhul Islam
sama sekali tidak membuat Mufti Zadah gentar, beliau malah menjawab "saya
datang kesini bukan untuk bersaing dengan mereka dalam mengemban tugas ini,
tapi saya ingin melihat sejauh mana hasil usahaku selama ini !!" Jawaban
seperti ini tentu membuat terkejut sang wakil Syaikhul Islam, karena selama ini
belum ada yang berkata sepertu itu padanya, bahkan dari ulama besar sekalipun,
karena mereka tahu kedudukannya wakil syakhul islam. Beliau pun berkata pada
Mufti Zadah "lakukan saja apa yg kau inginkan."
Singkat cerita ujian akhirnya dimulai, Mufti
Zadah adalah orang pertama yang tampil saat moderator mempersilahkan para
peserta yang ingin maju pertama kali. Dan jangan tanya seperti apa susahnya
ujian ilmu ini, lebih-lebih di depan sosok besar, seperti Syekh Ahmad Al
Qaz'abady. Namun semua pertanyaan itu, baik ilmu Aqliyah maupun Naqliyah seakan
tak ada nilai dihadapan Mufti Zadah, semua pertanyaan itu bisa dijawab dengan
jawaban yang sangat memuaskan, tak salah sedikitpun, seperti air sungai yang
mengalir tanpa ada penghalang.
Rasa terkejut wakil Syaikhul Islam berubah
menjadi rasa kagum dan membuatnya tertarik untuk berkenalan dengan sosok Mufti
Zadah muda. Jarang lho, sosok Al Qaz'abady kagum pada orang lain, apalagi anak
muda, wakil Syaikhul Islam mempersilahkannya untuk duduk di sampingnya. Dan di
saat ini lah beliau memujinya seraya mengatakan "anta khazainul ulum (kamu
adalah gudangnya ilmu)." Di sini lah pertama kali Mufti Zadah dikenal
dengan julukan "khazainul
ulum" hingga akhir hayatnya. Dan ketika Syekh Al Qaz'abady wafat, jadi lah
Mufti Zadah satu-satunya rujukan ulama saat itu untuk menyelesaikan berbagai
musykilah ilmu dan agama.
Sebagian bukti yang lain terhadap kealiman
beliau adalah, sebagaimana yang diceritakan Syekh Zahid Kautsray. Di saat umat
Islam masih menjadi bangsa adidaya di muka bumi. Ilmu pengetahuan adalah salah
satu hal yang sangat diprioritaskan. karena itu, masyarakat sangat menyukai
para ulama dan majlis-majlis ilmu. Mereka lebih suka menghadiri acara diskusi
para ulama dari pada menonton hiburan.
Begitu juga para Sultan, salah satu adat
sultan terdahulu, bahkan adat ini menjadi kebiaasan yang turun temurun adalah
mengadakannya munaqasyah keilmuan. Sultan akan mengundang para ulama yang
dianggap mumpuni dalam ilmu agama ke istana untuk membaca kitab, kemudian
saling bermunaqasyah. Majlis ini dihadiri oleh seluruh penghuni istana, bahkan
sultan juga mengundang raja-raja dari negeri tetangga dan para menterinya untuk
menonton munaqasyah ini.
Kebiasaan seperti ini telah berlangsung lama,
contohnya seperti di masa dinasti Abbasiyah, adat ini sering dilakukan oleh
khalifah Al Manshur, Al Mahdi, Harun Ar Rasyid, Al Ma'mun dan kebanyakan raja
Baghdad Lainnnya. Di Dinasti Mamalik mesir juga begitu, seperti masa Al Bahriah
dan Al Barjiah, dll.
Begitu juga di masa Turki Ustmani, Setiap
tahunnya, pada hari tertentu di bulan Ramadhan Sultan akan mengundang delapan
orang dari ulama besar ke Istana untuk mengadakan pengajian ilmu agama, setiap
harinya Sultan akan menetukan dari delapan ulama besar untuk membacakan kitab
tafsir Baidhawi. Biasanya pengajian itu, akan dihadiri oleh para alim ulama
untuk memunaqasyahkan Syekh yang membaca kitab, mereka bebas mengkritik,
bertanya dan berdialog sesuka hati, hingga mendapatkan jawaban seperti yang
diinginkan, tentunya dengan adab dan tatakrama. Majlis ini akan ditonton oleh
Sultan, para menteri dan seluruh penghuni Istana. Ini adalah kebiasaan turun
temurun sultan Turki Ustmani, hingga kekhalifahan ini runtuh.
Namun, di masa Sultan Abdul Hamid I, proses
munaqasyah ini tidak berlangsung lancar seperti biasanya. Munaqasyah terus
berlangsung hingga tak berujung, tidak ada orang yang menentukan pendapat siapa
yang benar dan pendapat siapa yang salah, orang yang bertanya tidak puas dengan
jawaban yang diberikan, dan si penjawab juga tidak bisa memuaskan si penanya,
hal ini disebabkan karena tingkat keilmuan ulama-ulama itu setara antara satu
dan lainnya. Akhirnya, Sultan memutuskan untuk menghadirkan Mufti Zadah,
sebagai pengadil antara mereka. Akhirnya dars dan munaqasyah kembali mengalir
dengan lancar tanpa adanya perdebatan panjang.
Mufti Zadah wafat pada tahun 1212 M,
ditangannya telah banyak lahir sosok hebat, dari generasi ke generasi, bahkan
beliau sempat mengajar murid dari
muridnya. Inilah sekilas pandang tentang kisah Mufti Zadah Al Kabir, maka dari
cerita di atas wajar saja sosok seperti Imam Kalanbawi lahir dari janinnya.
Wassalam.
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Mufti Zadah, Gurunya Al-'alamah Kalanbawi"