Dialektika Kelahiran Muhammadiyah
Digerakkan oleh kegelisahan dan Keprihatinan yang diperdalam pemikiran dan renungan “akal pikiran yang suci’, dengan penuh kehati-hatian berpijak pada Al-Qur‘an dan Sunnah sebagai sumber ajaran autentik, Kiai Haji Ahmad Dahlan menebar misi tentang perlunya gagasan yang ia sebut Perkumpulan Islam Muhammadiyah. Di kemudian waktu, di tengah kondisi kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan yang berkubang dalam penjajahan, gagasan itu lahir dengan nama Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan 18 November 1912 Masehi.
Kala itu, Indonesia meringkuk dalam cengkeraman kekuasaan Hindia Belanda. Di seantero negeri, kemiskinan dan kekurangan gizi yang mengoyak luka rakyat koloni, masih menganga lebar. Keawaman dan keterbelakangan yang meremukkan sendi-sendi kehidupan, menambah panjang duka bangsa inlander yang sudah berlangsung berabad- ‘abad. Semua akibat kebodohan yang sengaja dibiarkan mewabah, bahkan diciptakan. Dan, pada saat yang sama, dialog kritis terhadap berbagai gejala dan kemungkinan adanya penyimpangan dalam tradisi beragama, di kalangan umat Islam sendiri dipandang tidak lumrah dan cenderung harus ditinggalkan. Padahal, kondisi kehidupan umat Islam berlangsung nyaris tanpa asupan gagasan segar yang membuka peluang munculnya pelurusan dan perbaikan, dengan mendudukkan masjid secara jumud sebagai satu-satunya sentrum kegiatan ibadah yang diperlakukan sakral dari kegiatan muamalah, Sebuah sketsa wajah sejarah kebangsaan dan keumatan yang muram.
Meskipun pada masa itu, gairah modernisasi yang menandai lahirnya era kebangkitan sudah tumbuh, seperti pengorganisasian perdagangan Sarekat Dagang Islam (1905) di Surakarta, serta pengelolaan lembaga pendidikan dan kesehatan lewat ‘gerakan Budi Utomo (1908) di Yogyakarta, umat Islam tetap saja bagian besar dari kehidupan warga bangsa yang jauh tertinggal. Kauman, lingkungan kecil di sekitar Keraton Kesultanan Yogyakarta, yang tak lain kampung kelahiran Kiai Dahlan, tanpa kecuali adalah masyarakat yang bersikeras mempertahankan tradisi beragama mereka, ‘yang eksklusif dan stagnan secara turun-temurun.
Muhammadiyah yang lahir membawa misi dakwah dan tajdid di tengah kebekuan dinamika pemikiran keislaman, kala itu diperlakukan tak ubahnya lahirnya Isa dari rahim Maryam. Situasi yang terus menyudutkan dan nyaris tanpa pelindung itu, oleh Kiai Dahlan sendiri diterima secara sabar dan hikmah. Ketika melontarkan pandangannya tentang pelurusan arah Kiblat yang diyakini menyimpang, misalnya, Kiai Dahlan lebih menekankan pentingnya sikap arif dalam menerima hasil sebuah dialog atau musyawarah, daripada sekadar meruncingkan perdebatan dalam mencari kebenaran ‘secara hitam-putih.
Sebagai Abdi Dalem Keraton, Kiai Dahlan menyadari berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, ia dituntut berlaku sesuai dengan tugasnya untuk seiring sejalan dengan pemikiran para pemuka agama di lingkungan Keraton dalam memelihara mata rantaitradisi beragama yang telah mapan dan sekaligus merupakan simbol kewibawaan sri Sultan sebagai Senopati ing Negalogo (raja) dan Sayyidin Panatagama (khalifah), yang berarti menaungi kehidupan warga dan mengayomi ketertiban pelaksanaan agama. Namun, selaku dai, ia tidak memiliki alasan untuk menawar, apalagi berpaling, dari mis ‘gerakan dakwahnya i tengah-tengah kehidupan umat. Meskipun, secara pribadi, Kiai Dahlan juga sangat memahami kegundahan Sri Sultan karena para bangsawan Pakualaman semakin banyak yang memeluk Katolik, dan dengan jumlah penduduk sekitar 651.123 jiwa, Yogyakarta hanya memiliki 485 haji dan 187 guru agama.
Kiai Dahlan yang tidak ingin sengaja membelakangi apa yang telah diyakini penting ‘dan mendesak untuk pencerahan kehidupan umat, akhirnya memilih mundur dari polemik yang tidak sehat. Timbang hanya mempertahankan posisinya sebagai Khatib Masjid Gedhe Keraton di kancah perbedaan pandangan, yang kian waktu semakin keruh dan menajam.
Berada dalam kondisi yang demikian pelik dan serba ditentang secara keras, Kiai Dahlan tidak lantas berfikir untuk membalas melawan dengan menggunakan kekerasan yang sama. la berikhtiar untuk tetap memelihara sikap ruhama'u bainahum (cinta kasih terhadap sesama), sebagai ciri kaum muslimin memindai kebenaran ajaran di tengah perbedaan. Karena itu, ketika sengkarut perbedaan pemikiran tidak lagi menjanjikan kasih sayang dan persaudaraan, bahkan semakin jauh tercerai dari tujuan rahmatan lil alamin, ia kemudian memilih hijrah meninggalkan Kauman ke tempat yang relatif kondusif. Apalagi, Musala tempatnya menjalankan kegiatan dakwah dan pengajaran telah dirobohkan. Tatapi, keluarganya memaksa agar Kiai Dahlan tetap bertahan dan melanjutkan aktivitas dakwahnya di Kauman. Atas sokongan keluarga dan murid- muridnya, Musala yang roboh itu kembali didirikan.
Ujian tidak berhenti sampai di situ. Ketika menyulap rumahnya sendiri menjadi sebuah madrasah yang mengadopsi peralatan modem, seperti bangku dan papan tulis, sebagai hasil dari proses belajar dan dialog, serta hubungan yang terjalin secara dekat dengan pengurus pergerakan Budi Utomo, Kiai Dahlan kembali harus berhadapan dengan tentangan, bahkan celaan yang tak kalah keras. a dituduh telah sesat dan kafir, karena meniru model pendidikan Barat, yang Nasrani, Dan, kali ini serangan datang tidak saja dari para pemuka agama di lingkungan Kauman, melainkan juga dari kalangan ulama yang lebih luas di sekitar daerah Yogyakarta.
Berbagai situasi getir yang dialami dan berhasil dilampaui Kiai Dahlan, itulah yang sejatinya ikut menempa dan menata kondisi batin perjuangan Muhammadiyah di masa kelahiran dan periode awal gerakannya, sekaligus memperkokoh mental dan kepribadian Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid berkarakter pembaruan, yang mampu bergerak secara konsisten dan tahan guncangan hingga eksis melampaui kurun waktu satu abad.
Raihan, Arief, Yazid, dkk. (2013). Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Posting Komentar untuk "Dialektika Kelahiran Muhammadiyah"