Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjaga Kewarasan Keawaman Kita

Menjaga Kewarasan Keawaman Kita

Jika beranjak dari ujaran Ibn Mubarak maka mayoritas kaum muslim bisa digolongkan sebagai orang awam. "Kita", ujar Ibnu Mubarak, "karena sedikit tahu tentang dalil dan kaidah adalah orang awam". Lalu, apa soal menjadi orang awam? Ya, tidak apa-apa, sepanjang orang awam, asumsikan saja diri kita sendiri, tahu diri, fungsi dan peran kita. Baru menjadi perkara ketika kita tidak tahu peran, fungsi, dan bahkan diri sendiri sebagai orang awam.

Makanya, sungguh menjadi awam pun tetap memerlukan ilmu. Minimal, ilmu tahu 3 perkara di atas. Karena jika tidak, dari situlah berbagai masalah, kecil dan besar, perkara agama atau bukan, lahir lalu berkembang dan menjelma macam si Bruce Banner yang baru saja berubah menjadi Hulk ; tak terkendalikan. Lebih dari itu, keawaman yang tidak bisa dikendalikan pada gilirannya akan memudarkan kewarasan sebagai manusia yang baik.

Dari sekian ketidakwarasan yang lahir dari ketidaktahuan diri dan yang paling mendominasi sementara ialah berani mengklaim diri tahu. Barangkali itulah salah satu spesimen adagium itu; orang bodoh itu berani. Berani mengklaim diri tahu, berani mengumumkan diri paham. Berani yang lebih hancur dari itu, itulah berani menyalahkan orang lain berdasarkan ketidaktahuan itu. Aiai, aneh betul sifat ini memang.

Tengok sendiri kenyataan kiwari. Makin ke sini, makin berani betul orang-orang mengklaim diri tahu persoalan A dan menyalahkan orang yang menyatakan sebaliknya sekaligus. Betapa orang-orang tak kenal malu enggan berkata "tidak tahu" pada persoalan yang tidak dipahami betul, dan bahkan belakangan kadang ditolaknya mentah-mentah, tapi kini dijawabnya dengan keyakinan mantap.

Begitulah. Lebih cela dari itu, kadang pemilik setengah ilmu, yang termasuk dalam golongan awam juga, berani dan percaya diri betul mendedahkan ketidakwarasan jenis ini dan jenis lainnya. Makanya tak heran ada ujaran ulama "setengah ilmu lebih riskan dari pada tidak berilmu".

Kenyataan pahit yang lahir dari fenomena menggelikan ini ialah matinya kepakaran. Iya, kan? sedang-sedang orang mengidap ketidakwarasan ini mendedah aibnya, orang awam lain pada awalnya akan mencurigai kebenaran asli dari para pakar. Lebih mengancam dari itu, pada gilirannya mereka, bukan tak mungkin, secara tidak sengaja mematikan kepakaran. Suara-suara kebenaran asli dari para pakar akan dianggap sama belaka dengan pendapat orang sakit tadi. Ketika inilah, semoga Allah terus menjaga kita, keahlian tak berguna dan bernilai.

Maka, demi menyelamatkan ketidakwarasan ini dan akibat buruk yang timbul darinya, lagi-lagi, kita butuh ilmu pula. Ilmu tahu diri, ilmu tahu peran dan fungsi kita sebagai orang awam. Ajib saja kalau kita termasuk orang awam yang punya sedikit banyak kemampuan mengeksplorasi sendiri 3 perkara itu.

Kalau-kalau tidak tahu caranya tahu dan paham 3 perkara itu, kuylah , tanyakan sama para ahli. Itu bukan sebuah aib yang harus ditutupi, kok, kalau niatnya mau cari tahu sama ahlinya. Etapi, kalau masih malu juga untuk mencari tahu cara menjaga jarak dari ketidakwarasan jenis ini lewat bertanya, yasudah, tunggu tulisan saya berikutnya di Serambi Salaf, insyaallah.

Ditulis oleh Zuhdi Anwar

Penukilan: Serambi Salaf

Posting Komentar untuk "Menjaga Kewarasan Keawaman Kita"