Apakah Tokoh Mutaakhirin Asyairah berbeda dengan Imam Asy'ari
Begitu kerap tuduhan dari sebagian peneliti Muslim dan
Barat terhadap madrasah Asy'ari, khususnya muta'akhrin. Mereka menganggap bahwa
Asy'ari muta'akhrin berbeda dengan manhaj Asy'ari mutaqadimin. Sering juga
mareka menuduh sosok julukan "imam" dalam dua ilmu Ushuluddin dan
Ushul fikih yaitu Ar-Razi sebagai perusak ilmu Kalam, karena telah menodai ilmu
Kalam dengan pembahasan filsafat. Memang sahih, imam Ar-Razi (606 H) lah
sebagai tokoh utama era baru Asyairah dan tokoh pembaharu abad ke-6 H.
Besarnya pengaruh Ar-Razi hingga sebagian peneliti
menganggap semua ulama setelah Ar-Razi iyalun alaihi. Di masa hidupnya,
kitabnya tersebar luas, baik di daerah ajam dan Arab. Abu Abbas Suhaili (830 H)
menceritakan bahwa buku Ar-Razi disebarkan oleh syekh Taqyudin Ibnu Muqtarih (W
612 H) di Mesir (Mesir kala itu pusat keilmuan Islam. Kalau di pusat sudah
tersebar, tentu daerah lain pasti mengikutinya) Masyhurnya kitab Ar-Razi
menyebabkan kitab Mutaqadimin ditinggalkan.
Sebelum kita menjawab tuduhan itu terlebih dahulu
hendak kita mengetahui di mana letak perbedaan ilmu Kalam muta'akhrin dengan
ilmu Kalam mutaqadimin?
Allamah Sa'aduddin Taftazani (W 792 H) sedikit meyinggung perbedaan ilmu
Kalam di dua fase ini, dalam kitab dashingnya Syarah Aqaid Nasafi yang
kesimpulannya "ilmu kalam muta'akhrin adalah ilmu Kalam yang dicampur aduk
dengan pembahasan filsafat. Tidak hanya pembahasan tabi'iyah, tema riyadhah
juga diselipkan dalam ilmu Kalam seperti pembahasan geometris dll".
Allamah Sa'ad melanjutkan, "percampuran antara kedua ilmu sangat kental
sehingga tidak dapat kita bedakan antara ilmu Kalam dan filsafat kalau saja
tidak ada pembahasan sam'iyat dalam ilmu Kalam itu".
Sedikit setelah itu, Allamah Sa'ad memuji ilmu Kalam
sebagai induk dari semua ilmu Islam (serupa dengan ungkapan Al-Ghazali dalam
Mustashfa). "Sama saja tariqah mutaqadimin atau muta'akhrin", ujar
imam Ibrahim Bajuri dalam memberi komentar terhadap ungkapan Sa'ad dalam
Hasyiah Nasafi.
Masih dalam ruang lingkup syarah dan hawasyi Aqaid
Nasafi, Mula Ahmad al-Jundy menerangkan kenapa ilmu Kalam muta'akhrin harus
mengawinkan Kalam dengan filsafat? Hal ini disebabkan karena di era imam
Asy'ari dan ashabnya, lawan yang dihadapi berasal dari golongan Islam sendiri
(dengan bukti karya imam Asy'ari dan ashabnya. Coba cek Maqalah Islmiyah)
seperti Mu'tazilah, Jabariah, Qadariah, Imamiyah, dll. Semua mengklaim
berpegang teguh dengan Alquran dan hadist, maka tuntutan saat itu adalah
memperlihatkan kekeliruan kelompok itu dalam memahami Alquran dan hadist tanpa
perlu bantuan dengan filsafat.
Berbeda dengan era muta'akhrin, lawan saat itu lebih
banyak berasal dari luar Islam seperti filsafat, agnostik, dll. Ini jelas bisa
kita temui dari karya-karya imam Ghazali, seperti Maqasid Falasifah, Tahafut
Falasifah, hingga era imam Ar-razi.
Sekalipun Imam Haramain - menurut allamah Zahid
kausari dalam pengantarnya atas Aqaid Nizamiyah-nya imam Haramain (W 478 H) -
sebagai hamzah wasal antara manhaj salaf dan Khalaf. Lalu dikembangkan oleh
Ghazali dan dibesarkan oleh Ar-Razi, hingga diteruskan oleh madrasah ar-Razi
seperti Baidhawi, Armawi, 'Adhud Al-Iiji dll.
Kalau ditelusuri dengan baik, tidak ada perbedaan
antara muta'akhrin dengan mutaqadimin dalam manhaj yang telah dibangun oleh
imam Asy'ari, demikianlah tutur Syekh Albuthy dalam jurnalnya tentang Asy'ari.
Allamah Zahid kausari menambahkan, "tidak ada perkembangan dalam manhaj
Asy'ari, baik itu mutaqadimin atau muta'akhrin. Perkembangannya cuma terletak
pada cara yang tugasnya menjaga aqidah karena mengikuti tuntunan era
masing-masing".
Memang ada terjadi perbedaan ijtihad antara
muta'akhrin dan mutaqadimin bahkan sesama mutaqadimin pun itu terjadi, seperti
Abu Bakar al-Baqilani dalam beberapa tema, antara lain pada masalah sifat
baqa', hal, dan isbat juzul al farad. Begitu juga imam Haramain dalam beberapa
isu seperti kudrah manusia, metodelogi berpikir (al'irsyad) begitu juga imam
Ghazali (bisa kita perhatikan dengan seksama dalam kitab Faisal tafriqah).
Ikhtilaf ijtihad ini suatu hal yang lumrah, sama
seperti fikh, karena khilaf di sini dalam ruang furu' aqidah. Lagian imam
Asy'ari tidak menutup pintu ijtihad bagi penerusnya.
Khilaf ijtihad ini disebabkan oleh perbedaan zaman dan
peradaban. Buktinya, ulama besar abad ke-4 hijriah Abu Sulaiman al-Khitabi
berujar dalam kitabnya Ma'alim sunan bi syarhi sunan Abi Daud, bahwa pengaruh
zaman dapat melahirkan perbedaan ijtihad dalam furu' aqidah. Syekh Albuthi
menambahkan "seandainya imam Asy'ari dan ashabnya hidup di era Ghazali dan
Ar-Razi sungguh mereka memilih jalan sama seperti Ghazali dan Ar-Razi. Begitu
juga, seandainya Ghazali dan Ar-Razi hidup di era imam Asy'ari dan ashabnya
sungguh mareka akan mencukupi dengan jalur salaf tanpa memperluas ijtihad dan
takwil".
Memang ada sih, ijtihad muta'akhrin yang kurang cocok
dengan mutaqadimin. Seperti penjelasan kasab (usaha) oleh imam Ar-razi, karena
dianggap bertentangan dengan Kalam imam Asy'ari dalam Luma' dan Ibnu furaq
dalam Mujarrad maqalah Asy'ari.
Sehingga Syekh Ahmad Tayyib dalam kasus ini mengutip
dari Frank, "sebagian peneliti dari Barat menyebutkan bahwa
referensi-referensi madrasah Asy'ari muta'akhrin, wabil khusus kitab imam
Ar-Razi, banyak menambahkan pembahasan yang berbeda dengan imam Asy'ari dan
ashabnya."
Ditulis oleh Muhammad Zulfa
Penukilan: Serambi Salaf
Posting Komentar untuk "Apakah Tokoh Mutaakhirin Asyairah berbeda dengan Imam Asy'ari"